Suara beduk dan/atau kumandang azan magrib adalah pertanda berakhirnya ibadah puasa yang telah kita lakukan seharian penuh. Ketika kedua hal tersebut terdengar, mulailah memasuki waktu berbuka puasa. Sebuah momen yang ditunggu-tunggu, melepas dahaga dan lapar.
Menu buka puasa yang telah disiapkan oleh istri tercinta atau ibu tersayang, tiba waktunya disantap dengan penuh kenikmatan. Di atas meja makan telah tersedia berbagai hidangan buka puasa. Ada ayam goreng, sop sayuran, perkedel jagung, sambal terasi, kolak pisang, kurma, dan air putih. Sajian komplit.
Itu salah satu contoh menu buka puasa yang ada pada sebagian rumah keluarga di perkotaan dan semi perkotaan. Walau tak menutup kemungkinan, terdapat pula pada rumah keluarga di pedesaan. Mengapa ada pembagian seperti ini? Lain ladang lain pula tanamannya, lain rumah lain pula hidangannya.
Kita sadari bersama bahwa lingkungan sekitar kita, sangatlah beragam, terutama dari sisi ekonomi. Kita mampu menyediakan menu buka puasa yang agak mewah, ada kalanya orang lain tidak mampu. Itulah alasan mengapa ada keragaman tersebut.
Sebenarnya menu makanan berbuka puasa dapat apa saja. Tak harus beragam, asal mengenyangkan. Masalah bergizi itu urusan belakang. Lebih-lebih bagi kita yang memprioritaskan makanan buka puasa yang sehat bergizi. Alhamdulillah.
Pada tulisan ini, saya mencoba menghadirkan menu buka puasa pada masyarakat pedesaan. Sebab saya salah satu orang desa. Apalagi desa menjadi tolak ukur pertama lahirnya sebuah kota. Gak ada desa ya gak ada kota. Semua kota pernah menjadi sebuah desa. Jadi ngalor-ngidul ya?
Menu buka puasa pedesaan: sego glepungan, jangan kelor, peyek iwak klotok, dan wedang gulo.
Sego glepungan adalah nasi putih yang dicampur glepungan (olahan jagung, tapi bukan beras jagung). Secara mendasar, glepungan ini ada dua varian, dua model. Ada glepungan halus hasil selep biji jagung dan hasil olahan beras jagung (tekstur lebih kasar dan proses olahan lebih lama), yakni glepungan gerit.