Pilkada 2020 digadang-gadang menjadi kluster penyebaran covid-19. Bagaimana tidak, semua orang berkumpul di TPS masing-masing menunggu giliran mencoblos. Sangat tidak mungkin tidak terjadi interaksi antar satu orang ke orang lain. Pasti berjabat tangan, mengusap dahi karena terik mentari, duduk berdempetan bahkan berpangkuan. Yang hal ini, jelas melanggar aturan pencegahan korona.
Sebenarnya, para pemilih telah dihimbau untuk menggunakan masker, menerapkan cuci tangan pakai sabun, membawa hand sanitizer, mengenakan face shild, bahkan memakai sarung tangan. Mungkin tidak mungkin, pasti ada satu dua warga terkena paparan virus korona. Entah siapa yang menularkan. Karena kita tau bersama bahwa orang yang tanpa gelaja covid sangat minim terdeteksi.
KPU sebagai penyelenggara pemilu (pilkada, pileg, pilpres) tentu sangat mengetahui bahaya menjalankan pilkada di tengah wabah saat ini. Keputusan sulit yang mesti diambil KPU. Pasalnya, telah mengundurkan jadwal pilkada yang mestinya sudah diselenggarakan di beberapa bulan kemarin. Ternyata, ditunda hingga bulan Desember 2020.
Apa tidak mungkin pilkada ditunda lagi?
Sangat minim keputusan ini diambil oleh KPU. Mengingat, telah dilangsungkannya prosesi simulasi pemungutan dan penghitungan suara pilkada dengan menggunakan protokol kesehatan ketat covid-19 beberapa waktu lalu. Jadi, pilkada tetap jalan dan dilaksanakan pada 9 Desember 2020.
Mungkinkah pilkada ditunda, mengingat arena TPS dan pra-pemungutan suara menjadi wadah penyebaran dan penularan covid.
Bila ditunda, bagaimana masa kerja para kepala daerah? Saya sarankan, diberhentikan sesuai tanggal pemberhentiannya. Kemendagri (kementerian dalam negeri) dapat mengangkat pelaksana tugas (plt) gubernur. Plt Gubernur dapat mengangkat plt bupati/wali kota. Atau, cukup kemendagri yang mengangkat plt gubernur dan bupati/wali kota hingga situasi aman dari wabah.
Pernyataan tersebut pasti menimbulkan pro dan kontra. Pro karena menyangkut nyawa banyak orang dan demi kebaikan bersama. Kontra karena dikhawatirkan ada main mata dalam pengisian plt kepala daerah dan tidak tahannya para kandidat menduduki kursi kekuasaan.
Apakah mungkin pilkada 2020 menggunakan sistem pemungutan suara elektronik atau e-voting?
Sangat dimungkinkan. Apalagi pemerintah kita secara tidak langsung siap untuk menggunakan sistem e-voting. Namun, tidak semua daerah mampu menggunakannya mengingat kualitas SDM Indonesia kurang merata.
Kita ambil contoh di Lumajang. Saat pilkades 2019 lalu, ada dua desa menyelenggarakan pemungutan suara secara elektronik atau e-voting. Syukur e-voting di dua desa tersebut berjalan lancar. Alhasil, pemerintah daerah Lumajang akan mengevaluasi dan menyempurnakan sistemnya serta merealisasikannya pada pilkades 2021 atau pilkades 2025.
Perlu diingat bahwa pilkades 2019 adalah situasi normal. Bagaimana jika diterapkan pada situasi pandemi? Jelas merombak prosedur yang ada. Bahkan mengubah sistem e-voting yang pernah di coba.