Masalah utang. Semua orang pasti pernah ngutang. Entah cuma lima ratus rupiah bahkan ratusan juta rupiah.
Utang secara nyata tak mengenal siapa pun. Bisa dari keluarga mampu maupun keluarga miskin. Asalannya sih sepele, ingin mencukupi kebutuhan rumah tangga.
Tapi, pos-pos keuangan yang direncanakan tak berguna. Contoh, ngutang buat beli mobil. Ngutang buat beli perhiasan. Ngutang buat pamer.
Andaikata, ngutang buat biaya sekolah masih masuk akal. Artinya, ada kemauan baik. Tapi, utang masyarakat bukan untuk itu. Malah, melengkapi kebutuhan tersier yang sebetulnya tak memiliki manfaat.
Kita sendiri kadang berhutang pada si A, eh ngak cukup. Ngutang lagi ke si B. Begitu seterusnya, bahkan lebih dari 3 pihak pemberi utang yang kita hutangi. Bayangkan? Betapa banyaknya angsuran yang harus dibayar per minggu atau per bulan. Padahal, pendapatan tak seberapa.
Akhirnya, kita sendiri yang kerepotan. Imbasnya pada hubungan keluarga tak langgeng. Cekcok mulu. Kapan bayar utang si A? Kapan bayar utang si B? Kapan bayar utang si C?
Pikiran yang tertekan tersebut dapat memengaruhi kerja otak. Hingga pada ujungnya kita jatuh sakit. Saat sakit pun, kita tak bisa berpikir sehat. Sebab, terbayang namanya utang.
Benar bahwasanya, jangan pernah kau dekati utang. Sebab, utang akan melilitmu dari kehidupan.
Realitanya, ngutang lagi. Bayar puskesmas atau rumah sakit. Bukan malah sembuh, makin nambah sakit. Tak jarang pula dibawa mati. Keluarga susah, utang tak dibayar, ngutang lagi solusinya.
Jadi, ngak kelar-kelar yang namanya utang.Â
Awalnya ya tadi itu, buat gaya-gayaan. Toh, jika dibuat hal baik tak akan ngutang melulu. Bayar sekolah anak, ngak papa utang. Kan pertahun. Selama 12 bulan, kita masih mampu bayar. Yang bahaya, saat kita utang tanpa kebutuhan penting, sering ngutang, dan penghasilan pas-pasan. Nyungseplah kita.