Kurang lebih 85% daerah di Indonesia berada pada zona merah. Hal ini mengakibatkan tahun ajaran 2020/2021 dilakukan secara daring. Tanpa tatap muka. Tanpa perlu ke sekolah. Tanpa perlu berjabat tangan dengan bapak/ibu guru. Cukup menyedihkan. Tapi, harus diterima dengan lapang dada.
Sejak 13 Juli 2020, tahun ajaran dimulai serentak se-Indonesia. Kegiatan pembelajaran dilaksanakan secara full online. Seminggu sebelumnya, pihak sekolah telah berupaya membangun jaringan dengan mengelompokkan siswa-siswinya di dalam group WA, google classrooom, maupun zoom sebagai sarana pembelajaran.
Akan tetapi, pihak sekolah lupa untuk menyediakan materi pembelajaran atau hanya membuat rangkuman saja yang dipowerpointkan atau dipdfkan lalu diunggah pada platform pembelajaran yang dibentuk. Sehingga, orang tua dan siswalah yang kebingungan dan keteteran mencari literatur di awang-awang. Untung saja, ada Mbah Google. Sedikit, keribetan dapat teratasi.
Ada keanehan dengan sistem pembelajaran yang dipaksakan online tersebut. Pasalnya, tugas guru hanya membagikan materi berupa dokumen yang kudu diunduh dan dipelajari siswa secara mandiri tanpa arahan sang guru.
Siswa tentu merasa kesulitan, apalagi dengan kosa kata baru.
Meski ada sekolah yang menyertakan buku teks pendamping materi, tetapi tetap saja siswa kerepotan belajar. Apalagi pelajaran matematika, fisika, dan kimia. Pusingnya minta ampun.
Jadi, tugas guru hanya memerintah. Dipelajari, dikerjakan, dan dikumpulkan.
Tugas selalu ada tiap harinya. Artinya, setelah bapak/ibu guru memberikan materi juga disertai tugas dengan tenggat waktu jam 12 siang. Tak ada tawar-menawar antara siswa dan guru. Layaknya kebiasaan sebelum pandemi.
Itulah tugas guru pada kebiasaan baru ini, suka memerintah.
Semua dimonopoli. Batas waktu pengerjaan tugas, materi yang dipelajari, hingga presensi siswa pun diberi kedaluarsa.
Sebenarnya pembelajaran daring kala pandemi perlu digalakkan dan dipermanenkan. Sebab, sebagai upaya pemerataan pendidikan dan peningkatan kualitas SDM terutama melek teknologi. Akan tetapi, sistem model pembelajaran masih perlu koreksi, tinjauan ulang, bahkan penyempurnaan. Hal ini menjadi tugas kita semua, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!