Terkait dengan rencana pemerintah untuk menambah 7000 lulusan S3 setiap tahun, majalah The Economist menuliskan bahwa di Amerika/Inggris saat ini telah terjadi kejenuhan lulusan S3. Mengambil program S3 di anggap membuang-buang waktu saja (The economist).
Tulisan itu dimulai dari latar belakang seseorang mengambil program S3 (Doktor) yang di beberapa negara disebut juga PhD (Philosophy Doctor). Beberapa hal di antaranya adalah kebutuhan untuk yang ingin mendalami karir di akademik dan juga keinginan untuk mendapatkan gaji yang lebih besar.
Dituliskan bahwa sebelum perang dunia kedua, sangat sedikit staf akademik di Amerika yang bergelar doktor. Tapi keadaan itu telah berbalik. Saat ini ada 64000 doktor yang dihasilkan Amerika. Peningkatan jumlah lulusan doktor ini juga terjadi di Meksiko, Portugis, Italia, Slovenia dan Jepang.
Tapi saat ini di Amerika, diperkirakan telah terjadi kejenuhan lulusan S3. Program S3 di anggap membuang-buang waktu. Hal ini diperkuat dengan bukti bahwa gaji lulusan S3 tidak jauh berbeda dengan lulusan S2. Lulusan S3 mendapat gaji 3% lebih besar dibandingkan lulusan S2. Padahal untuk lulus dari S2 bisa dilakukan dengan hanya satu tahun (program S3 di Amerika umumnya dilakukan lebih dari 4 tahun).
Masalah lain, menurut majalah the Economist banyak lulusan S3 yang tidak bekerja di bidangnya, bahkan menurut dunia industri, lulusan S3 masih tidak siap pakai.
Keadaan di Indonesia
The Economist telah menggambarkan situasi pendidikan di negara maju saat ini. Penulis melihat bahwa untuk Indonesia kebutuhan tenaga terdidik seperti S3 masih diperlukan untuk kemajuan pendidikan bangsa. Sebelum tahun 2000, mungkin kondisinya mirip dengan kondisi di Amerika sebelum perang dunia kedua, dimana tenaga pendidik yang setara S3 masih sangat kurang.
Negara-negara maju sesudah perang dunia kedua berlomba-lomba memajukan dunia pengetahuan dengan meningkatkan tenaga pendidik termasuk penambahan jumlah lulusan S3. Wlaupun The Economist memberikan pandangan skeptis tentang tingginya lulusan S3 di Amerika/Inggris saat ini, tapi hasil perjuangan mereka saat itu telah bisa kita lihat saat ini.
Saat ini pemerintah Indonesia sedang berusaha menambahkan jumlah lulusan S3. Pemerintah mencanangkan untuk menghasillkan 7000 doktor setiap tahun. Walaupun jumlah ini masih jauh dari yang dihasilkan Amerika tapi jumlah 7000 mungkin termasuk angka yang realistis, walau untuk kondisi Indonesia saat ini akan sulit untuk mencapai jumlah itu bila juga diiringi dengan peningkatan kualitas.
Jumlah pendidik di Amerika telah mencapai lebih 5% dari jumlah total penduduknya, sedangkan Indonesia masih dibawah 2%. Tentu saja hal ini menyiratkan diperlukan lebih banyak tenaga pendidik yang tidak harus S3.
Jika melihat kondisi di tanah air, fokus peningkatan saat ini sebaiknya untuk tenaga pendidik. Naiknya tenanga pendidik tentunya perlu di iringi dengan naiknya kualitas. Negara-negara maju saat itu memiliki kondisi yang mirip dengan Indonesia saat ini. Mereka juga pernah mengalami masalah ekonomi, dan akhirnya bisa bangkit dengan mengandalkan peningkatan keilmuan di berbagai bidang.
Tulisan dari majalah The Economist menggambarkan keadaan lulusan S3 saat ini di negara maju. Kejenuhan jumlah lulusan yang tidak diiringi dengan peningkatan gaji secara signifikan sedang mereka alami.
Mungkin pada suatu saat nanti, Indonesia juga akan mengalami kejenuhan seperti yang digambarkan telah terjadi di Amerika. Tapi nampaknya hal itu masih lama. Untuk saat sekarang Indonesia masih perlu tenaga S3 lebih banyak, tapi prioritas utama tentunya untuk peningkatan jumlah tenaga pendidik lebih dahulu.