[Tulisan ini terinspirasi dari tulisan tentang Jam karet sebelumnya di sini] [caption id="attachment_108571" align="alignleft" width="179" caption="Boseeen.. (dok. pribadi)"][/caption] Beberapa tahun hidup di negeri orang, ternyata tidak membuat orang Indonesia melupakan kebiasaan jam karet ini. Kalau saya menghadiri acara yang dibuat oleh orang Indonesia, bisa dipastikan banyak yang datang menggunakan jam karet. Hingga kadang penyelenggara acara harus memberikan pengumuman satu jam sebelum jam yang sebenarnya. Tapi itupun juga kadang tidak mempan. Karena dari mulut ke mulut orang-orang pun akhirnya tahu kalau acara sebenarnya baru di mulai satu jam kemudian. Dan akhirnya tetap saja mereka datang terlambat. Tidak usah acara non-formal, yang formal seperti perayaan kemerdekaan RI pun, bisa terlambat. Pernah suatu ketika panitia memaksakan tepat waktu, karena acaranya mengundang tamu-tamu orang bule, bahkan sang walikota tempat saya tinggal. Ketika acara dimulai, yang datang kurang dari separuh. Kursi-kursi masih banyak yang kosong. Tapi ketika acara menjelang selesai hadirin membludak. Ruang gedung seolah tidak muat oleh orang-orang yang berjubelan. Saya bukan pemakai jam karet. Tapi ketika harus bertemu dengan teman-teman Indonesia, terutama jika ada acara yang sifatnya non formal, saya harus memaksakan diri untuk menghitung waktu, atau mencari tahu siapa yang di undang. Kalau saya paksakan tepat waktu, saya harus bersiap-siap tidak bertemu siapa-siapa kecuali pengundang (yang kadang jam karet juga). Kalau acara dimulai jam 11, maka saya mengatur diri agar datang jam 12, itu juga karena sesudah acara itu saya ingin cepat2 pergi. Kalau tidak ada batasan waktu saya datang jam 12.30, dan kadang-kadang yang datang pun masih tidak banyak. Kadang saya juga mencari tahu apakah banyak orang bule yang di undang. Karena jika cukup banyak, maka hampir bisa di pastikan acara tidak akan terlalu terlambat. Yang paling sial tentunya kalau saya yang jadi panitia, karena saya memaksakan diri untuk tepat waktu, dan harus menyiapkan diri untuk tetap tersenyum menyambut kedatangan teman-teman yang tiba 1-2 jam sesudah saya. 'Untung'-nya kebiasaan jam karet ini juga rupanya sudah dikenal dikalangan teman-teman bule saya yang sering bergaul dengan orang Indonesia. Lebih-lebih lagi mereka yang kebetulan mempunyai pasangan orang Indonesia. Mereka sudah bisa memaklumi, walaupun pernah saya dapati teman bule saya tetap bersungut-sungut karena acara baru dimulai 1.5 jam sejak kedatangan dia. Mengubah kebiasaan jam karet ini nampaknya sulit sekali. Kebiasaan ini juga sudah banyak terbawa-bawa ke soal ibadah. Teman-teman muslim saya sering menunda-nunda sholat hingga menit-menit terakhir, demikian juga teman-teman nasrani saya kadang datang di saat-saat mengambil komuni atau saat kotbah hampir selesai. Buat orang Indonesia, jam karet ini nampaknya sudah menjadi budaya, sudah menjadi kebiasaan yang nampaknya tidak akan bisa di hilangkan. Entah kenapa budaya ini bisa ada, apakah karena kita terbiasa memaklumi orang lain? atau mungkin juga karena kebiasaan kita selalu berharap bisa dimaklumi oleh orang lain? Melanjutkan cerita tentang teman-teman Indonesia di negeri orang, mereka sebenarnya bisa tidak pakai jam karet. Teman-teman yang saya kenal sering menggunakan jam karet ini, ternyata bisa tepat waktu juga kalau orang bule yang mengundang. Aneh khan? Jadi memang nampaknya budaya jam karet ini baru diterapkan kalau ketemu sesama bangsa sendiri. Jadi apakah kebiasaan itu bisa diubah? saya rasa agak pesimis bisa berubah di era hidup saya. Mungkin harus menunggu satu atau dua generasi di bawah saya. Tapi minimal buat para pembaca kompasiana, semoga kita bisa mulai sama-sama mengubah kebiasaan ini, karena bagaimanapun juga suatu tujuan besar selalu di mulai dari kecil dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H