Mohon tunggu...
Bayu C Pamungkas H
Bayu C Pamungkas H Mohon Tunggu... -

Penunggang Vespa, Pecandu alam, Menulis dan memotret

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tinta Senja

30 September 2014   22:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:54 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senja kian meremang. Bayang-bayang semakin suram. Burung Piopio telah diangkat. Lukisan alam yang begitu indah berwarna kuning tembaga dengan hiasan awan kehitam-hitaman begitu singkat. Suara riak sungai yang jernih mulai menghitam. Kebisingan lalu lintas mulai mengecil diantar oleh petang yang beranjak malam. Dedaunan hijau tua ditemani burung pipit diperaduannya melambai dengan anggun mengantarku kembali ke peraduan. Suara indah Ibu terlontar  memberiku kalimat ayu yang selalu ada setiap petang,

“Sudah mandi, Nak? Mandilah cepat, lalu ambil air wudhu dan sembahyang magrib, Ayahmu sudah menunggu”. Kalimat yang selalu aku hiraukan, ya, itulah Ibu. Setelah sembahyang, kembali aku mendengar suara indah itu,
“Nak, sini makan dulu sebelum kamu belajar” katanya.
“Iya Bu, sebentar, sedang membereskan sejadah dan sarung dulu” kataku dengan lembut.
Aku berjalan menuju ruang makan. Telah disambut oleh Ibu dan Ayah yang begitu setia serta terlihat bahagia. Sepasang sendok dan garpu seperti iri melihat kemesraan mereka.
“Ayo Nak, makan, Ibu membuat sayur lodeh kesukaanmu” sahut Ibu. Betapa aku seperti terbang ditengah-tengah sangrila yang indah. Kami begitu menikmati jamuan makan malam yang sangat nikmat.
Keesokan harinya aku seperti biasa, menimba ilmu, kata Ayah dan Ibu; mendulang harta yang paling mahal dari intan berlian adalah Ilmu. Dari kejauhan terdengar sayup-sayup mesra,
“Ndo, sinilah sebentar”. Ibuku memanggil. Tanpa pikir panjang kulangkahkan kaki untuk kembali kedalam rumah.
“Ono opo toh, Bu?” sahutku
“Iki Ndo, mau sarapan dulu atau ndak?” tambahnya.
“Mau Bu, tapi sepertinya aku akan kesiangan. Yasudah sarapannya aku bawa saja ke sekolah, sarapannya di sekolah saja”
“Yowis, ibu siapkan dulu”.
“Nggih Bu”. Kulihat ibu menyiapkan makanan berupa nasi dengan tiga buah tempe dan dua buah tahu. Kuperhatikan Ibu yang sedang menyiapkan sarapan untuk anaknya. Seraya kuikat tali sepatu yang kusam kesukaanku, terlihat juga Ayah di meja bundar tempat Ia bersantai sembari menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok kretek. Sempurna sekali hidupku, gubug ini adalah pepohoan yang bernyanyi. Seolah laut berpantai damai. Seolah dermaga sebagai tempat penumpah lelah sehabis memerah tubuh-tubuh basah. Betapa hidup dari waktu ke waktu selalu mengelus berkah.
Suatu hari, aku harus disibukkan dengan tugas Karya Tulis Ilmiah. Semua yang kumiliki telah ditumpahkan untuk selesainya tugas itu. Pagi-pagi sekali terdengar suara lirih melengking dari kamar tua tempat Ibu beristirahat. Suara lilih itu dihunuskan kepadaku seakan menakuti segala kelemahan. Dari dalam kamar ibuku membuka percakapan,
“Nak, tolong belikan obat untuk ibu. Obatnya sudah habis dan hanya ada untuk pagi ini saja”. Kurasakan rasa perih tertahan darinnya yang berusaha memberi isyarat tentang kesakitannya.
“Bu, nanti saja sore. Aku sedang repot dan takut kesiangan sampai disekolah” teriakku
“Sebentar saja nak, Ibu takut kalau kamu beli obat sore hari apoteknya akan tutup atau batuknya akan bertambah parah”, keluhnya.
“Ah, Ibu ini, aku buru-buru, Bu. Yasudah mana uangnya” bicaraku ketus. Diberikannya uang oleh Ibu untuk membeli obat. Kulihat kerutan di jidatnya yang memang sudah keriput.
Kesibukan karena tugas KTI yang belum juga aku rampungkan membuat amarahku semakin memuncak. Ditengah api yang membakar hati, handphoneku berdering kencang membuat konsentrasi seketika pudar. Kuliat ternyata Ibu yang menelpon. Kuhiraukan saja tanpa peduli maksud ibuku menelpon.
“Angkatlah sebentar, itu Ibumu. Barangkali ada hal penting yang ingin disampaikan” usul temanku
“Ah sudahlah, aku sedang bingung dengan KTI yang kubuat. Biar nanti saja” kataku dengan sangat ketus.
Kuperhatikan sekitar tiga kali Ibu mencoba menghubungi. Namun tetap saja tidak aku hiraukan. Inilah awal bencana, sekadar mengangkat telpon saja aku tidak mau. Setelah selesai bergelut dengan tugas sekolah aku bergegas pulang. Setengah perjalanan aku mampir ke apotek untuk membeli obat pesanan ibu.
Senja bersama sinarnya yang kemerah-merahan menyapa di bilik teras rumah kelabu. Alunan suara alam bersenandung di gendang telinga menyadarkan Senja sengaja ditutupi halimun yang beraroma dingin mencolek tubuh yang gagap bersama waktu. Ah! Mengimpikan menjadi manusia berdaulat mengharuskanku menjadi punguk merindukan bulan. Langkah lunglai menuju pintu rumah yang lapuk termakan usia telah kuhampiri. Diketuknya pintu rumahku, “Assalamualaikum”kataku. Kulakukan itu hingga tiga kali namun tetap saja tidak ada jawaban. Ternyata pintu rumahku terkunci. Ada apa gerangan hingga rumahku terkunci rapat sampai cahaya mataHari saja tidak bisa menembusnya. Kucari kunci untuk membukanya. Ya, kunci yang biasa disimpan di pot bunga warar disamping pintu kudapat. Dibukalah perlahan pintu rumahku. Suara hening begitu terasa hingga jam dinding pun terasa keras berbunyi. Tak ada orang dirumah. Seraya kulangkahkan kaki menuju kamar, kulihat sepucuk surat tergeletak di meja bundar tempat Ayah menikmati pagi ditemani secangkir kopi dan rokok kreteknya.

Kubuka perlahan surat itu,
“Nak, mungkin saat kamu membaca surat ini Ibu sedang dalam perjalanan menuju Rumah Sakit. Ibu akan melakukan Operasi karena penyakit paru-paru yang Ibu derita. Ayah kan sedang bekerja jadi Ibu diantar pamanmu. Ibu telpon kamu ndak diangkat saja, Ibu mengerti, mungkin kamu sedang sibuk. Obat yang ibu pesan tadi pagi simpan saja ditempat obat ya, Nak. Ibu sudah membuatkan opor ayam untuk makam kamu. Kalau opornya dingin, masak lagi saja. Uang jajan sudah ibu simpan juga di meja makan. Ibu.”
Terdengar letusan! Menyalak dan mendadak. Ledakan keras bagai dari senapan. Degup jantung sontak terhenti. Wajahku pucat pasi. Kemudian, perasaanku seketika pecah dan buyar. Setan apa yang merasuki hingga aku begitu kejam melakukan itu. Hariku mengerdil dalam rasa penyesalan. Dengan langkah gontai aku menuju kamar, rasa bersalah kian mengerogoti. Betapa bodohnya aku, Tuhan.
Jam menunjukan angka delapan. Suara jangkrik bersenandung seakan memarahiku atas apa yang kuperbuat. Rasa penyesalan dan air mataku yang tak henti mengalir membuat tubuhku kian lemah. Rasa cape dan kantuk yang menggelayut mengantarku untuk tidur. Dalam tidurku, aku bermimpi berada disebuah Dolok yang begitu hening, bukan burung pipit atau gereja yang kulihat. Burung Piopio-lah yang banyak bertengger diranting-ranting pohon karet. Kulihat sebuah Bevak kumuh tak terurus. Terdengar pula suara samar dari kejauhan seperti suara genderang pertanda peperangan akan dimulai. Suara itu semakin dekat, begitu dekat. Rasa takut begitu terasa diulu hati. Betapa tidak, kulihat keluarga besarku berjalan begitu cepat diantar oleh amarah yang begitu menyala.
Entah mengapa, Ibu memarahiku dengan begitu dahsyat. Matanya memerah saga. Begitu banyak kata-kata yang dirangkai Ibu untuk memarahiku. Tapi, nenekku orang satu-satunya yang tidak ikut memarahi. Dipeluknya erat tubuhku. Dekapan erat kurasakan.
“Rajam saja dia! Rajam saja dia!” teriakan dari keramaian keluargaku yang membundar mengelilingiku.
“Ini anakmu! Sadarlah, jangan kau marahi terus” bentak nenekku.
“Aku tak peduli!” ibuku setengah berteriak. Aku begitu kaget ditambah air mata yang begitu deras mengalir. Aku tak percaya, ibuku marah besar.
Seketika itu pula aku terbangun, mataku membengkak ditemani airmata. Tatapan kosong kurasakan. Aku tertunduk lesu, menengadah pun begitu sulit. Apa yang sebenarnya terjadi kepadaku. Aku terbangun disepertiga malamNya. Apakah itu pertanda teguran dariNya karena aku telah membuat dosa kepada Ibu? Sepertinya. Dengan mata yang membengkak aku berjalan untuk mengambil air wudhu untuk bersembahyang. Setelah itu aku bermunajat kepadanya.
“Tuhan, kutulis doa memakai tinta air mata yang menetes di perihku, pada telur sedih yang menetas dari pedihku. Pada langitmu, tengah menghujankan air mata, namun Kau tak menuliskan apa-apa. Tinta kering sebab kesedihan Ayah dan ibuku. Aku menulis wajahnya dengan tinta paling ungu. Serupa warna matanya yang saat terakhir menatap langit malam itu. Sebab menuliskan pengorbanannya, menjadikan tintaku gagu, membisu. Tintaku masih bisu, dan rasa-rasa tentang penyesalanku kepadanya. Tuhan, aku melukis setengah wajahnya dengan tinta, setengahnya lagi tak selesai oleh jatuhnya air mata. Barangkali, air susu ibu adalah tinta. Dan anaknya adalah pena yang menuliskan kehidupan sendiri dengan doa. Apa namanya, Tuhan? Bila setetes tinta, sia-sia menodai kertas putih, dengan tarian hurup-hurup luka. Aku patah disitu, Tuhan. Pada pena tegak yang tintanya tak memikirkan apa-apa  selain penyesalan. Ketika aku bahagia, doa mereka selalu berpeluh mengabadikannya. Tuhan, jagalah malaikatku, lindungilah mereka dengan kasihmu. Lapangkanlah mereka dari setiap cobaanmu. Atas nama peluhmu, Ayah, Ibu, kasih Tuhan atas semua pengorbananmu. Kabulkanlah doaku, Tuhan. Aamiin”
Ayah, Ibu, mungkin tubuhku telah kotor. Tetapi pesanmu tetaplah suci. Aku akan tetap memperjuangkannya. Bukankah perjuangan memang butuh pengorbanan? Jadi, doakan anakmu ini    hingga menjadi manusia berdaulat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun