Prinsip bebas-aktif pertama kali diperkenalkan oleh Mohammad Hatta dalam pidatonya yang berjudul "Mendayung Antara Dua Karang". Prinsip tersebut merupakan landasan kebijakan luar negeri Indonesia yang bertujuan menjaga kedaulatan negara dan berperan aktif dalam perdamaian dunia. Kata "Bebas" memiliki arti bahwa Indonesia tidak terikat oleh salah satu blok keuatan besar dunia pada saat itu, yaitu blok Barat (AS dan sekutunya) dan blok Timur (Soviet dan sekutunya). Sementara itu "aktif" berarti Indonesia berkomitmen untuk terlibat dalam upaya perdamaian nasional, termasuk melalui forum-forum internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Konferensi Asia-Afrika 1955. Hatta juga menjelaskan bahwa Indonesia harus menjaga kemandiriannya dalam mengambil keputusan luar negeri tanpa campur tangan asing, tetapi juga tidak menjadi negara yang pasif. Prinsip ini mencerminkan nilai-nilai Pancasila, yang menekankan persatuan, kemanusiaan, dan keadilan sosial. Kebijakan bebas-aktif bukan hanya strategi untuk menjaga netralitas Indonesia, tetapi juga menjadi cara untuk menunjukkan solidaritas terhadap negara-negara yang baru merdeka, khususnya yang berjuang melawan kolonialisme dan imperialisme.
Seiring berjalannya waktu, interpretasi dari penerapan prinsip bebas-aktif berubah mengikuti perkembangan zaman dan sistem internasional yang dinamis. Kebijakan luar negeri Indonesia yang berkembang mencerminkan perpaduan antara keberlanjutan nilai-nilai dasasr dan perubahan yang diperlukan oleh konteks politik dan ekonomi global serta dinamika domestik. Saya tidak akan mengambil contoh dari presiden dimana saya tidak hidup (saya lahir di tahun 2000), Perubahan terlihat pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) Â yang cenderung memiliki pendekatan berbeda dengan pendekatan yang dilakukan oleh Presiden Susule, eh... Sisule, eh... Sisulo, sudahi dulu bercandanya karena yang saya maksud adalah Susilo Bambang Yudhoyono yang kerap disapa SBY. Sebagai Presiden yang tidak memiliki keahlian dalam bidang hubungan luar negeri, Jokowi cenderung mengarahkan kebijakannya atas kepentingan Domestik berbanding terbalik dengan SBY yang memiliki pendekatan lebih proaktif dalam Hubungan Internasional atau Hubungan Luar Negeri. Hal ini dibuktikan dengan peranan aktif Indonesia dalam forum-forum internasional seperti ASEAN, PBB, dan bahkan menjadi salah satu negara pencetus G20. Fakta-fakta ini bukan menyatakan bahwa Jokowi adalah Presiden "Anti-Foreign Policy", melainkan menyatakan bahwa fokus kebijakan luar negeri Indonesia bersifat dinamis dan harus mengikuti kepentingan nasional bangsa pada saat itu
Jokowi membawa pendekatan baru terhadap kebijakan luar negeri Indonesia dengan berfokus kepada diplomasi ekonomi, terutama melalui peningkatan investasi dan infrastruktur. konsep "Global Maritime Fulcrum" atau Poros Maritim Dunia menjadi pusat dari kebijakan luar negeri Jokowi yang menekankan posisi strategis Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. GMF memiliki goals untuk dapat menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia dan mengembalikan Indonesia ke identitas maritimnya. GMF juga didasari oleh lima pilar utama yaitu Diplomasi Maritim, Budaya Maritim, Ekonomi Maritim, Pertahanan Maritim, dan Identitas Maritim. Jokowi menekankan bahwa pengembangan infrastruktur maritim di dalam negeri sangat penting untuk memperkuat daya saing Indonesia di panggung Internasional (L. Conelly, 2015). Ambisi yang dicanangkan oleh Jokowi dalam GMF tentu saja memiliki hubungan yang erat dengan keuntungan geopolitik yang dimiliki Indonesia yaitu berada di wilayah jalur perdagangan internasional. Namun, keuntungan yang dimiliki Indonesia juga memiliki tantangan yang berat terutama dalam dinamika Laut Cina Selatan.
Kebijakan GMF berarti bahwa Indonesia harus memiliki kedaulatan penuh atas wilayah lautnya dan memaksimalkannya sesuai dengan 5 pilar GMF. Akan tetapi, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna tumpang tindih dengan klaim "sembilan garis putus-putus" (nine dash line) Tiongkok yang menyebabkan beberapa insiden konfrontatif antara kapal patroli Indonesia dan kapal penangkap ikan Tiongkok. Jokowi mengambil sikap tegas dalam menghadapi pelanggaran kedaulatan di perairan Natuna. Pernyataan ini didukung dengan fakta bahwa pemerintahan Jokowi telah menenggelamkan kapal-kapal asing yang tertangkap melakukan penangkapan ikan ilegal di wilayah perairannya, termasuk beberapa kapal Tiongkok pada tahun 2016 (L. Connelly, 2015). Ketegasan Jokowi menunjukkan bahwa Indonesia serius dalam menanggapi ancaman-ancaman yang dapat melemahkan kedaulatannya. Akan tetapi, ketegasan tersebut menjadi pedang bermata dua yang berpotensi melemahkan hubungan luar negeri Indonesia dengan Tiongkok.Â
Jokowi dan pemerintahannya menghadapi dilema antara menegakkan kedaulatan maritim dan menjaga stabilitas hubungan ekonomi dengan Tiongkok, yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi domestik. Sebagai negara yang dikategorikan "middle power" Indonesia mengemban tanggung jawab untuk memengaruhi tata kelola regional dan global, sering kali melalui strategic hedging---strategi yang dilakukan negara-negara dengan menjaga hubungan seimbang dengan negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Tiongkok tanpa berpihak ataupun melawan (Djalal, 2024). Dilema dan kebijakan yang diambil Jokowi merupakan kelanjutan dari pendekatan sebelumnya (SBY), tanpa perubahan besar dalam strategi. Jokowi tetap mempertahankan hubungan bilateral yang kuat dengan Tiongkok, sambil menggunakan pendekatan yang lebih halus untuk menegosiasikan ketegangan di Laut Cina Selatan. Strategi Jokowi lebih rasional mengingat keterbatasan militer Indonesia dan kebutuhan untuk menjaga stabilitas regional di tengah dinamika kekuatan yang semakin besar di Asia Tenggara (Sari, 2021). Dilema ini menunjukkan bahwa meskipun Jokowi cenderung bersikap reaktif terhadap permasalahan Laut Cina Selatan, pendekatan yang diambil merupakan perwujudan dari bebas-aktif yang tidak memihak dan bebas bekerjasama dengan negara manapun. Dilema ini juga menunjukkan bahwa Jokowi masih mengadopsi pendekatan SBY di Laut Cina Selatan, namun menggunakan pendekatan diplomatis dan kerja sama ekonomi.Â
GMF memiliki visi utama untuk mengangkat posisi Indonesia di arena internasional sebagai kekuatan maritim. Upaya ini diwujudkan melalui prioritas pembangunan pelabuhan-pelabuhan, tol laut, dan jalur transportasi lainnya sebagai upaya untuk memperbaiki konektivitas antar pulau di Indonesia. Inisiatif ini dimaksudkan untuk mengurangi biaya logistik, meningkatkan efisiensi distribusi barang, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih merata di seluruh kepulauan Indonesia (L. Connelly, 2015). Meskipun ada ambisi besar untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, strategi yang diperlukan untuk mewujudkan visi tersebut---terutama dalam hal diplomasi maritim dan kerjasama internasional---kurang mendapat perhatian. Jokowi tampaknya lebih tertarik pada hasil yang cepat dan nyata di dalam negeri yang tercermin dalam pembangunan infrastruktur, daripada mengejar kebijakan luar negeri yang membutuhkan proses diplomatik jangka panjang (L. Connelly, 2015). Hal ini menunjukkan bahwa Jokowi lebih fokus terhadap isu domestik dan cenderung tidak terlibat langsung dalam detail kebijakan luar negeri yang rumit. Hal ini dibuktikan dengan pengambilan keputusan-keputusan pragmatis dan teknokratis yang seringkali sebagai respon dan bukan strategi yang koheren (Agastia, 2021).Â
Kurangnya perhatian Jokowi atas hubungan luar negeri dapat juga terlihat melalui ketergantungannya pada penasihat-penasihat utamanya untuk merumuskan kebijakan luar negeri. Rizal Sukma, Luhut Panjaitan, dan Retno Marsudi merupakan beberapa figur memainkan peran penting dalam membentuk visi maritim Jokowi. Jokowi sering kali membuat pernyataan yang kuat tentang kedaulatan maritim Indonesia, namun tidak terlibat secara langsung dalam proses pembuatan kebijakan yang lebih teknis dan cenderung menyerahkan keputusan penting kepada penasihat-penasihatnya. Hal ini menyebabkan kebijakan luar negeri Indonesia kurang koheren dan konsisten, terutama dalam hal penegakan visi GMF. GMF yang awalnya dipandang sebagai inisiatif besar yang akan memperkuat posisi Indonesia di dunia internasional, implementasinya tidak berjalan dengan baik karena berbagai alasan, termasuk kurangnya perhatian Jokowi terhadap diplomasi internasional dan tantangan ekonomi yang dihadapi oleh Indonesia. Visi maritim ini akhirnya kehilangan relevansi karena Jokowi lebih fokus pada pembangunan infrastruktur berbasis darat dan menarik investasi asing untuk proyek-proyek domestik yang lebih mudah dikelola (L. Connelly, 2015). Pernyataan ini kembali menunjukkan bahwa fokus Jokowi terhadap kepentingan domestik seringkali bertolak-belakang dengan visi kebijakan luar negeri yang dicanangkannya.Â
Meskipun Jokowi memperkenalkan visi ambisius GMF yang bertujuan menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, implementasinya terbatas karena kurangnya keterlibatan Jokowi dalam diplomasi internasional dan kecenderungannya untuk lebih fokus pada pembangunan domestik. Sementara infrastruktur maritim dan proyek pembangunan domestik memberikan manfaat nyata bagi ekonomi Indonesia, kebijakan luar negeri yang terfokus pada maritim sering kali kurang terkoordinasi dan tidak memiliki strategi jangka panjang yang jelas (L. Connelly, 2015). Pendekatan pragmatis Jokowi, meskipun berhasil dalam beberapa aspek domestik seperti pembangunan infrastruktur, sering kali mengorbankan peran Indonesia di panggung internasional, terutama dalam isu-isu seperti Laut Cina Selatan. Namun, strategi Jokowi yang lebih hati-hati dan non-konfrontasional dalam menghadapi ancaman dari Tiongkok, seperti yang dicatat oleh Sari, juga menunjukkan bahwa kebijakan luar negerinya tidak sepenuhnya gagal, melainkan disesuaikan dengan kebutuhan untuk menjaga stabilitas dan hubungan internasional yang seimbang di kawasan Asia Tenggara. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan jokowi dalam hal ekonomi domestik tidak dipengaruhi oleh kebijakan luar negeri yang dicanangkannya. Namun perlu dipahami, bahwa strategi kebijakan luar negeri yang diimplementasikan oleh Jokowi merupakan pendekatan yang tepat untuk menghadapi status quo sistem internasional yang dihadapi pada masa pemerintahannya, terutama dalam menavigasi kekuatan Tiongkok.