Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah, tengah melakukan penyelidikan terkait kasus pembangunan dua bangunan mewah di kawasan Bundaran Hotel Indonesia (HI). Bangunan tersebut didirikan oleh PT Grand Indonesia (GI) yang ditunjuk oleh PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI) yang bekerja sama dengan PT Hotel Indonesia Natour (HIN) yang dimulai sejak 2004 lalu. Dalam kasus ini, Kejagung mempermasalahkan ijin Built-Operate- Transfert (BOT), atau bangun-guna-serah PT GI yang diluar kesepakatan. PT HIN melalui komisaris yang baru ditunjuk, Michael Umbas, mengatakan PT GI membangun Menara BCA dan Apartemen Kempinski merupakan aksi di luar perjanjian awal. Bung Michael ini jika merujuk mbah Google mengklaim sebagai eks relawan pada capres lalu.
[caption caption="sumber foto : wisatapesisir.com"][/caption]
Kasus ini pun menarik jika kita bahas dari sisi hukum. Saya adalah karyawan BUMN yang kebetulan memiliki latar belakang hukum. Salah satu yang menarik adalah mengapa kasus BOT ini dibawa ke ranah pidana? Berdasarkan Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHAPER) yang mengatur tentang BOT, kedua pihak yang melakukan perjanjian BOT akan tunduk pada KUHAPER. Jika ada wanprestasi (salah satu pihak tidak melakukan kewajibannya) maka akan tunduk pada Pasal 1267 KUHAPER.
Jika kita melihat sangkaan yang dilayangkan Kejagung dan pihak PT HIN soal pembangunan dua lahan di atas maka tafsiran permasalahan ini bisa menggunakan undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang hukum agraria. Di dalam sengketa agraria di Indonesia juga diselesaikan melalui hukum adat dan perdata. Selain itu, menurut bocoran salah satu pengamat hukum ternama, kebetulan sahabat saya juga, para pihak yang menandatangani perjanjian BOT bertindak sebagai badan hukum perdata dan harus tunduk pada hukum perdata.
Bapak Michael Umbas mengatakan BUMN ini dirugikan atas pembangunan dua bangunan tersebut (menara BCA dan Apartemen Kempinski) sekitar 1,2 triliun. Merujuk pada fakta hukum di atas maka jika PT HIN merasa dirugikan seharusnya mereka menggugat PT GI secara perdata berdasarkan fakta hukum yang ada. Â
Sahabat saya kebetulan pula adalah orang dalam di PT HIN. Dia tak asing dengan kondisi di dalam. Tentu saja saya tak bisa membuka identitas dirinya disini. Sebagai sesama karyawan BUMN, kami sedih karena paham betul betapa BUMN selalu dijadikan sapi perah. Meski saat ini konon sudah jamannya Revolusi Mental masih ada saja upaya untuk menjadikan BUMN sebagai tempat mencari keuntungan pribadi atau kelompok. Tadinya saya berharap sebagai eks relawan, Pak Umbas bisa membuat gebrakan yang lebih baik. Jangan sampai terpengaruh atau ikut-ikutan orang lain yang memang sukanya bermain ‘beginian’.
Kembali pada Kejagung, jika Jampidsus masih memaksakan kasus ini ke ranah pidana maka dakwaan jaksa saat di pengadilan akan rentan dan berpotensi bisa digugurkan melalui putusan sela sebelum memasuki agenda tuntutan. Saya baca di RMOL, pakar hukum Universitas Indonesia Margarito Kamis saja mengaku heran kenapa bisa perjanjian kesepakatan perdata bisa dipidanakan karena ada klaim kelemahan dari salah satu pihak yang membuat kesepakatan. Menurutnya, baik PT HIN, PT CKBI, dan PT GI yang melakukan bisnis, harusnya berunding dan mencari solusi bersama jika ada masalah dalam kesepakatan. Dia menyarankan agar pihak yang terkait agar duduk bersama untuk kembali me-riview perjanjian yang sudah ada dan menemukan win-win solution untuk semua pihak.
Nah, aneh saja mengapa Pak Umbas, komisaris baru PT HIN, relawan, dan pihak Kejaksaan Agung, khususnya Pak Jampidsus, yang saya lihat karirnya mestinya cukup baik di Kejaksaan, memaksakan sekali kasus ini dibawa ke ranah pidana? Ada apa? Ada yang kebelet ingin mendapatkan ‘sesuatu’? Atau karena ada udang dibalik batu? Mengingat kompleks GI dan Hotel Indonesia adalah kawasan properti emas di kawasan strategis mungkin ada yang bermimpi melakukan manuver bisnis berbalut politik. Siapa tahu? Hormatilah hukum. Kasihan BUMN, kasihan hukum di negeri kita, selalu dikorbankan.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H