Mohon tunggu...
Bay Bayu Firmansyah
Bay Bayu Firmansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Suka Ngomong Lewat Mulut dan Tulisan

Seorang mahasiswa magister Komunikasi yang gemar membaca buku dan menonton anime di waktu senggang. Menulis sebagai ajang pelampiasan atas keresahan yang dialami sehari-hari.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perlukah Seseorang Diberi Hadiah Pasca Sidang Skripsi?

13 Agustus 2023   20:48 Diperbarui: 14 Agustus 2023   08:55 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Gue bingung, Bay," kata seorang kawan sambil menghela nafas diseberang telfon. Maul, nama sebenarnya, ternyata sedang dilema karena temannya memberi dia kabar akan menjalani sidang skripsi pada akhir bulan Agustus.

Saya yang masih belum bisa menerka arah pembicaraan segera menanyakan dasar kebingungannya. Bagaimana mungkin kabar gembira semacam akan lulus kuliah bisa membuat orang lain bingung.

"Saat gue sidang dulu, dia ngasih hadiah yang cukup mahal. Sekarang gue bingung gimana cara balas budinya, keuangan lagi seret," keluhnya yang cukup membuat saya iba. Sekarang saya dapat memahami beban seperti apa yang sedang ia pikul.

Memang, tradisi memberi teman hadiah pasca sidang skripsi bukanlah sesuatu yang tertulis dan wajib dilakukan. Mirip dengan memberi hadiah pada momentum ulang tahun. Tapi, budaya itu cukup sering dilakukan oleh teman-teman mahasiswa, termasuk mungkin kompasianer yang sedang membaca.

Konon, budaya tersebut dilakukan lebih dari sekadar bukti bahwa kita turut bahagia atas kelulusan yang teman rasakan. Ada semacam hubungan baik yang harus dipertaruhkan, semakin kuat hubungan, semakin mahal hadiah yang harus diberikan. Bisa dibilang, hadiah yang diberikan itu menjadi manifestasi dari seberapa kuat hubungan antara si pemberi dan si penerima hadiah.

Saya pribadi termasuk orang yang tidak pernah ambil pusing dengan budaya memberi hadiah pasca sidang skripsi ini, bila ada rezeki akan saya belikan satu atau dua barang. Bila sedang bokek, tentu tidak saya paksakan dan cukup memberi kata 'selamat', sambil berharap teman yang bersangkutan bisa memaklumi kemiskinan saya.

Mungkin sekilas saya orang yang tidak setia kawan. Meski di beberapa kesempatan iya, tapi untuk kasus ini bukan karena itu. Bagi saya, sebuah hubungan pertemanan tidak bisa selalu dimanifestasikan dengan barang yang sifatnya mudah rusak. Lebih jauh dari itu, pertemanan berbicara tentang kejujuran, integritas, dan kebaikan yang mana semua itu hanya bisa dirasakan, tidak bisa dilihat.

Lagi pula, kenapa memberi hadiah harus selalu pada momentum tertentu? Bukankah setiap hari adalah momentum yang baik untuk memberi dan beramal, apalagi kepada seorang teman yang selama ini selalu bersedia meminjamkan telinganya di kala kita sedih dan galau pasca ditolak gebetan.

Pada akhirnya, saya memutuskan untuk memberi sebuah saran kepada teman saya di atas. Saran yang saya pikir cukup ampuh untuk mempertahankan hubungan pertemanan, dan tidak jadi korban unfollow akun Instagram

"Coba Elo kasih aja dia barang yang harganya setengah dari harga barang yang dia kasih saat Elo sidang. Setengahnya lagi, Elo bisa ngasih barang lain saat dia wisuda, jadi impas dan lunas." saran itu cukup untuk membuat teman saya manggut-manggut sambil berucap 'okee', walau dengan nada agak ragu karena sekarang pertemanan dia tidak hanya harus dipertaruhkan, tetapi juga harus dikredit.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun