Vonis Koruptor 6,5 Tahun: Apakah Dalil Sopan Bisa Menjadi Pembenaran?
Belakangan, publik kembali digemparkan dengan vonis yang diterima oleh seorang terpidana kasus korupsi yang hanya dihukum penjara selama 6,5 tahun. Vonis ini menimbulkan kontroversi karena alasan yang dikemukakan oleh hakim dalam menjatuhkan hukuman, yakni "dalil sopan" yang dianggap sebagai alasan untuk mengurangi masa hukuman. Pertanyaan besar pun muncul, apakah benar alasan yang dikemukakan seperti itu pantas digunakan sebagai dasar dalam memutuskan hukuman bagi seseorang yang terlibat dalam praktik korupsi?
Korupsi, sebagai salah satu kejahatan yang merugikan negara dan masyarakat, harusnya mendapatkan hukuman yang tegas dan memberikan efek jera. Koruptor adalah orang-orang yang dengan sengaja mencuri hak rakyat, menyalahgunakan kepercayaan publik, dan menggerogoti sumber daya yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat. Maka dari itu, vonis yang adil dan sesuai dengan nilai-nilai keadilan sosial sangat penting.
Namun, dengan alasan "dalil sopan" sebagai dasar pengurangan hukuman, banyak yang merasa bahwa ini mencederai semangat pemberantasan korupsi itu sendiri. Apa yang dimaksud dengan "dalil sopan"? Apakah sikap sopan seorang terpidana di ruang sidang cukup untuk menutupi perbuatan buruk yang telah mereka lakukan di luar sana? Tentu saja tidak. Vonis yang ringan ini berpotensi menjadi preseden buruk, mengarah pada pemahaman bahwa dalam sistem hukum, sikap sopan bisa menebus kejahatan besar seperti korupsi.
Sistem peradilan yang adil dan transparan seharusnya memberikan hukuman yang proporsional dengan dampak dari kejahatan tersebut. Dalam kasus korupsi, di mana dampaknya langsung menyentuh kehidupan masyarakat, hukuman yang diberikan harus bisa memberi pesan tegas bahwa kejahatan tersebut tidak akan ditoleransi. Tindakan "sopan" atau "baik" seorang pelaku korupsi tidak seharusnya menjadi alasan untuk memoderasi hukuman yang semestinya menjadi pembelajaran bagi semua pihak.
Apalagi, ketika vonis tersebut diberikan di tengah upaya besar negara dan masyarakat untuk memerangi korupsi. Masyarakat mulai merasa jengah ketika vonis terhadap para koruptor justru tidak mencerminkan rasa keadilan yang mereka harapkan. Vonis yang rendah bukan hanya merugikan negara, tetapi juga merendahkan martabat rakyat yang terimbas langsung oleh perbuatan para koruptor tersebut.
Tentu, dalam sistem peradilan, ada hak untuk memperjuangkan pembelaan diri, termasuk hak untuk menunjukkan sikap baik selama persidangan. Namun, hak tersebut bukan berarti bisa mengurangi nilai dan dampak kejahatan yang telah dilakukan. Korupsi bukan hanya masalah perbuatan individu, tetapi juga menyangkut integritas institusi dan kepercayaan publik terhadap sistem hukum.
Jika sistem peradilan kita terus menerus memberikan kelonggaran terhadap pelaku korupsi, baik itu melalui pengurangan hukuman dengan alasan apapun, maka kita hanya akan menumbuhkan rasa ketidakpercayaan terhadap proses hukum dan merusak perjuangan keras yang sudah dilakukan selama bertahun-tahun. Negara harus tegas dalam memberikan hukuman yang setimpal bagi para koruptor, tanpa ada kompromi yang merugikan kepentingan masyarakat luas.
Dengan demikian, dalil sopan tidak boleh menjadi alasan untuk meringankan hukuman bagi koruptor. Sikap tegas dalam pemberantasan korupsi, yang sesuai dengan nilai-nilai keadilan sosial, adalah hal yang lebih mendesak daripada memprioritaskan sikap baik di ruang sidang. Agar kepercayaan publik terhadap hukum tetap terjaga, hukum harus berlaku adil dan tanpa pandang bulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H