Kebangkitan Sintren dalam Lingkar Modernitas Melalui Pendidikan
Oleh : Najibul Mahbub, S.Pd.
*) Mahasiswa Magister PBSI Universitas PGRI Semarang
**) Guru Bahasa Indonesia MAN 1 Kota Pekalongan
Kesenian Sintren memiliki kekunoan namun memiliki nilai budaya yang sangat berharga. Sebagai salah satu dari sekian banyak sumber daya kesenian Indonesia, Sintren harus diapresiasi dengan baik. Namun, kesenian ini lambat laun tergerus oleh perkembangan kehidupan modern yang semakin maju. Sayangnya, berdasarkan survei sederhana yang dilakukan di kelas X MAN 1 Kota Pekalongan, siswa-siswa tidak mengenal kesenian Sintren. Bahkan, siswa-siswa yang tinggal di Pekalongan dan sekitarnya belum pernah menyaksikan pertunjukan Sintren. Hal ini sangat memprihatinkan. Lebih lagi, jika pihak terkait, terutama pemerintah, tidak segera mengambil tindakan yang relevan terkait hal ini, Sintren akan hilang dan tidak akan ada lagi generasi penerusnya. Undangan untuk tampil di hadapan masyarakat semakin jarang bahkan tidak ada sama sekali. Hanya ada sekali dalam setahun, pada tradisi nyadran atau undangan dalam pentas budaya. Masyarakat lebih memilih tontonan dangdut atau orkes melayu daripada pertunjukan Sintren.
Dalam era globalisasi ini, seni budaya dan tradisi daerah secara perlahan akan hilang. Jika kita mengkaji penyebab hilangnya Sintren, hal tersebut dapat dikaitkan dengan latar belakang Pekalongan sebagai kota yang kental dengan kegiatan agama. Banyak pondok pesantren dan sekolah yang berfokus pada bidang agama, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Namun, orang-orang yang memiliki latar belakang keagamaan cenderung tidak menyukai atau tidak mempercayai hal-hal yang berbau mistis. Kondisi ini membuat Sintren sulit berkembang di Pekalongan, karena selama ini Sintren masih dianggap sebagai tradisi kesenian yang terkait dengan hal mistis atau magis. Padahal, kesenian tradisional tersebut dapat dijalankan tanpa melibatkan unsur-unsur tersebut.
Oleh karena itu, tugas pemerintah adalah untuk mensosialisasikan dan mengenalkan Sintren kepada masyarakat dengan menyampaikan bahwa pertunjukan Sintren dapat dilakukan tanpa melibatkan unsur-unsur magis atau mistis. Melalui upaya ini, diharapkan persepsi masyarakat terhadap Sintren dapat berubah, bahwa Sintren tidak selalu terkait dengan hal-hal mistis. Dengan begitu, ketika persepsi tersebut telah berubah dalam masyarakat, Sintren dapat diterima kembali sebagai tradisi kesenian yang berasal dari Pekalongan dan menjadi kebanggaan masyarakat dalam bidang seni budaya.
Mengenal Sekilas Kisah SintrenÂ
Tari Sintren merupakan sebuah kesenian tradisional yang berasal dari masyarakat Pekalongan dan sekitarnya, khususnya masyarakat pesisir pantai utara. Tarian ini memiliki adegan yang bernuansa mistis. Cerita dalam Tari Sintren berasal dari kisah cinta antara Sulasih dan Sulandono. Dalam cerita tersebut, Sulandono adalah putra Ki Baurekso yang lahir dari perkawinan dengan Dewi Rantamsari. Sulandono jatuh cinta kepada Sulasih, seorang putri dari desa Kalisalak. Namun, hubungan asmara mereka tidak mendapatkan restu dari Ki Baurekso. Akhirnya, Sulandono memutuskan untuk pergi bertapa sementara Sulasih memilih menjadi seorang penari. Meskipun begitu, pertemuan antara keduanya terus terjadi melalui alam gaib.
Pertemuan antara Sulasih dan Sulandono diatur oleh Dewi Rantamsari, yang jasadnya menghilang secara gaib saat ia meninggal. Pengaturan ini dilakukan dengan cara memasukkan roh bidadari ke dalam tubuh Sulasih setiap kali ia tampil sebagai penari. Pada saat yang sama, roh ibu Sulandono memanggilnya saat ia sedang bertapa untuk bertemu dengan Sulasih. Inilah saat pertemuan antara Sulasih dan Sulandono terjadi. Dalam setiap pertunjukan Tari Sintren, sang penari pasti dimasuki oleh roh bidadari yang diatur oleh pawang. Menariknya, salah satu syarat menjadi penari Sintren adalah harus berada dalam keadaan suci, yaitu sebagai seorang perawan.
Ciri Sintren