Catatan: Berita yang tampil di media bisa saja benar, bisa saja bias. Sebab cerita yang diambil sepenggal-sepenggal. Pasti memang terbatas ruang untuk menuliskan kesimpulan lengkap capres setengah dewa itu. Untuk lengkapnya saya tuliskan kembali di blog ini. Ini adalah kesimpulan rangkaian 4 survei CN dari Agustus-Desember 2013
CAPRES SETENGAH DEWA
Jokowi memang belum pernah sekalipun menyatakan kesediaan untuk maju dalam pemilihan presiden tahun 2014. Gubernur DKI Jakarta ini selalu menjaga perkataannya dengan mengalihkan jawaban. Biasanya dia akan bilang tidak mikir jadi presiden atau melempar hal tersebut sebagai keputusan ketua umum PDI-Perjuangan. Tapi itu bukan berarti tidak mau.
Jokowijuga belum tentu dicalonkan oleh PDI-Perjuangan. Melihat bahwa PDI-Perjuangan punya kesempatan untuk memenangkan Pileg 2014, Jokowi sepertinya cukup ditempatkan sebagai “calon pemimpin nasional” yang dicintai oleh Ibu Ketua Umum. Citra PDI-Perjuangan tetap terjaga di mata publik meski tidak secara tegas menyatakan Jokowi akan dimajukan sebagai calon presiden. Dengan retorika seperti ini, tidak tertutup kemungkinan PDIP tetap akan memajukan Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden, sementara jokowi paling bisa saja ditempatkan sebagai Cawapres. Jadi pernyataan sebagai calon pemimpin nasional itu tidak melenceng dari maknanya.
Meski demikian, Jokowi tetap harus dimasukkan ke dalam seluruh survei opini publik yang dilaksanakan di Indonesia menjelang tahun 2014. Mau tidak mau dia sudah menjadi “Capres” terkuat di benak publik. Sehingga menghilangkan nama Jokowi bisa menghilangkan legitimasi survei tersebut.
Perolehan elektabilitas Jokowi memang luar biasa. Dia mengungguli Capres-capres yang lebih senior dan lebih lama melakukan sosialisasi. Perolehan elektabilitas Jokowi hari ini lebih dari dua kali lipat angka yang diperoleh pesaing terdekatnya, Prabowo maupun Aburizal Bakrie. Padahal, sampai kuartal kedua tahun2012, Prabowo Subianto masih merajai survei dengan perolehan elektabilitas tertinggi.
Jokowi hari ini muncul sebagai calon presiden dengan legitimasi yang sangat tinggi. Bahkan saking tingginya, publik juga cenderung kehilangan obyektifitas dan rasionalitas dalam memberikan penilaian. Sudah terjadi pencampuran antara argumentasi rasional dengan mitos yang menganggap bahwa tokoh ini tidak boleh salah dan dikritik. Kompetisi ide dan adu gagasan juga mandeg, karena tidak ada yang boleh tidak setuju dengan Jokowi.
Sembilan dari 10 orang yang mengenal Jokowi, membicarakannya dengan tone yang positif dan mengenalnya dengan perasaan suka. Ini pula yang menyebabkan bahwa siapapun yang hari ini mengkritik Jokowi, apalagi menyudutkannya, akan menerima konsekuensi sebagai public enemy.
Jokowi juga sudah muncul sebagai Capres setengah dewa dengan kemampuannya menghegemoni pikiran masyarakat. Sederhananya begini. Apapun yang yang dilekatkan kepada Jokowi akan menjadi baik dan bagus. Apa pun yang menjadi pendapat Jokowi menjadi benar meskipun sebelumnya masyarakat tidak setuju dengan hal tersebut.
Temuan pada survey pertama dan kedua, Jokowi hari ini tidak perlu terlalu risau dengan partai. Jokowi bisa bergabung ke partai mana pun. Dan penggabungan diri Jokowi bisa menjadikan partai tersebut sebagai pemenang pemilu. Simulasi yang dilakukan oleh Cyrus network baik terhadap partai unggulan, maupun partai-partai yang terancam tidak lolos parliamentary treshhold memperlihatkan hal tersebut. Jokowi bahkan mampu mendorong Partai Bulan Bintang, Partai Nasdem, Maupun Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) sebagai pemenang Pileg, jika Jokowi bergabung dengan partai tersebut dan sekaligus diusung sebagai calon presiden.
Jokowi bisa mengangkat suara PDIP ke titik potensial tertinggi, yaitu 60%. Golkar ke angka potensial tertinggi 53%, dan Gerindra ke angka 48% jika jauh-jauh hari menyatakan diri sebagai satu-satunya partai yang mengusung Jokowi sebagai calon presiden.
Bahkan Figur Jokowi bisa mengangkat PBB, Partai Nasdem, dan PKPI ke titik potensial tertinggi di atas 40%, jika menyatakan diri sebagai satu-satunya partai yang mengusung Jokowi sebagai capres. Ini adalah salah satu fakta bahwa Jokowi adalah Capres setengah dewa.
Model simulasi di atas memang tidak mudah, terutama dalam realibilitas alat ukur.Sebab, jika satu partai disebutkan mencalonkan seorang tokoh, maka partai lain juga harus juga dalam posisi yang sama. Ini letak kesulitannya. Setelah menguji beberapa model alat ukur, Cyrus Network memutuskan untuk menggunakan daya dorong maksimal Jokowi terhadap sebuah partai secara ekslusif. Ini adalah sebuah kesimpulan sederhana dari pertanyaan: Jika partai A adalah satu-satunya partai yang mendukung jokowi sebagau Capres, apakah anda akan mempertimbangkan memilih partai tersebut? Jawabannya mengagetkan.
Fakta menarik lainnya adalah soal kebijakan mobil murah yang diluncurkan oleh pemerintah pusat. Masyarakat terbelah ke dalam bagian yang sama besar, antara yang setuju dengan yang tidak setuju dengan kebijakan ini. 43% masayarakat setuju dengan kebijakan mobil murah dan 43% tidak setuju, serta 14% tidak memberikan pendapat.Namun ketika diberitahu bahwa Jokowi tidak setuju dengan kebijakan mobil murah, setengah responden yang tadinya setuju mobil murah berbalik menyatakan bahwa pendapat Jokowi tersebut benar. Sehingga total responden yang mendukung pendapat Jokowi dan menolak mobil murah menjadi 66%.
Dalam variabel lain, publik sebanrnya sudah mulai paham bahwa yang paling bertanggungjawab dan berperan dalam kemajuan kehidupan mereka adalah Bupati/walikota (56%), bukan presiden. Namun jika dihadapkan pada pilihan antara memiliki kepala daerah yang berprestasi dengan presiden yang berprestasi, masyarakat ternyata lebih menginginkan punya presiden yang berprestasi (49%). Hanya 35% pemilih yang lebih menginginkan bupati/walikota yang berprestasi. Ini semata-mata karena didorong keinginan memiliki presiden seperti Jokowi, dibanding harus mencari figur kepala daerah seperti Jokowi.
Dan temuan terbaru dalam survey IV Cyrus Network lagi-lagi memperlihatkan bahwa Jokowi betul-betul tokoh setengah dewa.Jika banjir dan macet di Jakarta gagal di atasi, maka siapa yang harus dipersalahkan? Hanya 50% yang menyalahkan Jokowi, dan 50% sisanya menyalahkan pihak lain. Yang menyalahkan pihak lain ini terbagi antara 14% yang menyalahkan pemerintah pusat dan 36% menyalahkan masyarakat. Kira-kira bagaimana jika yang jadi Gubernur adalah Foke? Sayangnya kita tidak punya angka soal ini.
Berbagai temuan terhadap persepsi publik di atas bisa memiliki dua arti bagi masyarakat Indonesia. Satu positif, dan yang lainnya negatif.
Hal positif yang bisa diambil adalah bahwa mungkin untuk pertama kalinya dalam 15 tahun terakhir kita memiliki pemimpin dengan legitimasi sangat tinggi sehingga tidak terlalu perlu memusingkan opini publik. Dia lebih leluasa mengambil keputusan tanpa perlu khawatir bahwa keputusan itu menjadi tidak pupuler.
Hal yang kedua sifatnya negatif. Bahwa masyarakat terperangkap di antara realitas dan mitos tentang seorang pemimpin. Pemimpin yang baik dan berprestasi tetap membutuhkan kritik, bahkan harus membuka ruang untuk kritik. Publik harus disadarkan bahwa pemimpin itu tetap manusia biasa, bukan ratu adil atau tokoh serba bisa yang akan menyelesaikan seluruh persoalan dengan tangannya. Dukungan yang membabi buta ini meniadakan akal sehat. Kritik pun tidak mendapatkan tempat. Para pakar, para pengamat yang memiliki kompetensi dan integritas pun takut memberikan gagasan yang berlawanan dengan Jokowi, sebab seketika bisa menjadi public enemy.
Cyrus Network
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H