Mohon tunggu...
Hasan Batupahat
Hasan Batupahat Mohon Tunggu... -

Direktur Eksekutif The Cyrus Network

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cerita tentang Turun Tangan

4 Desember 2013   18:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:19 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya buat tulisan ini untuk seorang sahabat yang berani mencemplungkan diri menantang ombak dan menatap badai. Dia tinggalkan dunia yang penuh puja-puji, dan kini berhadapan dengan kontroversi. Dia sudah telanjur bikin tagline Turun Tangan. Daripada timnya yang muda-muda dan penuh semangat itu pusing menerjemahkan apa itu turun tangan, saya ikut turun tangan untuk membuatkan narasinya.

Saya tahu dia tidak suka menggerutu, apalagi mengutuk keadaan. Alis-alih frustasi dengan kondisi Indonesia, dia justru sangat optimis. Baginya, Indonesia hari ini punya semua persyaratan untuk jadi bangsa yang maju. Persoalannya kita tidak pernah diarahkan dengan serius untuk jadi bangsa yang maju. Jika Bung Karno sesumbar mau mengguncang dunia dengan 10 pemuda, 10 pemuda yang sebagian besar buta huruf, kenapa kita hari ini tidak bisa lebih optimis dari itu? Karena sebagian besar pemuda itu tidak lagi buta huruf.

Jadi, Turun Tangan harus jadi sebuah cerita tentang optimisme. Optimisme yang berakar pada potensi bangsa Indonesia

Tulisan kecil yang semoga bisa bermanfaat sebagai bahan pegantar cerita. Tentu cerita lebih lanjut tentang sahabat ini. Namanya Anies Baswedan

Turun Tangan

Turun tangan itu cuma sebuah istilah. Dua buah kata yang sederhana namun punya makna yang tak biasa. Dua kata ini yang akan mengikat kita, berpartisipasi secara aktif untuk membangun bangsa bersama-sama, bukan dengan mengharapkan munculnya seorang manusia serba bisa atau ratu adil yang bisa membereskan semua persoalan bangsa.

Turun tangan itu simbol kebersamaan. Bukan simbol kehebatan seorang pemimpin yang merasa bisa menyelesaikan segala persoalan dengan otak dan kemampuannya. Bangsa ini harus diurus bersama-sama, baik oleh orang-orang luar biasa maupun orang-orang yang biasa saja. Semua bisa punya peran dan jasa. Bangsa ini tidak bisa diurus oleh satu orang manusia super saja.

Turun Tangan menuntut keterlibatan semua anak bangsa dengan segala macam potensi mereka. Segala macam potensi, skill, bahkan harta anak bangsa bisa disatupadukan untuk membuat bangsa ini maju.

Turun Tangan untuk Indonesia itu bukan seperti symphony orchestra. Mereka bisa bermain indah saat sendirian maupun ketika bersama-sama. Karena masing-masing punya semua nada. Turun Tangan itu seperti angklung orchestra. Hanya bisa dimainkan saat bersama-sama.

Turun Tangan memang seperti angklung orchestra. Satu orang hanya punya satu nada. Jika egois dengan kemampuan masing-masing, tidak akan punya arti apa-apa, sebagus apa pun dan senyaring apa pun bunyi angklung yang anda punya. Tapi kalau semua mau turun tangan, sadar dengan nada masing-masing, mau berperan dengan porsi masing-masing, dia akan jadi sebuah orchestra yang luar biasa. Angklung hanya potongan ruas-ruas bambu, tapi angklung orchestra tidak akan kalah menggetarkan dibanding sebuah simphony orchestra.

Turun Tangan itu seperti orkestra angklung. Tidak butuh satu orang luar biasa yang memainkan semua nada. Dia bisa dimainkan oleh orang-orang biasa di bawah arahan seorang dirigen yang punya rasa dan paham nada. Seorang yang tahu persis potensi setiap orang dan mengerti kapan harus memainkan nada. Adakalanya nada mengalun satu per satu. Di lain waktu, beberapa nada sekaligus menjadi satu. Dia hanya perlu menjahit semua potensi itu menjadi alunan nada yang indah, dan menggetarkan. Seorang dirigen yang bisa membuat bunyi ruas-ruas bambu menembus relung hati yang paling dalam dan membuat bulu kuduk merinding.

Turun Tangan butuh dirigen. Dirigen yang paham tentang rasa, dan tahu harus membawa nada itu ke arah mana. Ayo kita Turun Tangan untuk Indonesia. Kita pasti bisa. Dirigennya ada di depan mata anda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun