Mohon tunggu...
batu tulis
batu tulis Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas dan pengamat kehidupan sehari-hari

Dinamika dalam masyarakat yang terwakili dalam berbagai isu baik politik, sosial maupun ekonomi menjadi tema yang tak habis-habisnya untuk dibahas

Selanjutnya

Tutup

Politik

Cegah Pansus Penyelewengan Kewenangan Menteri Bahlil Layu Sebelum Berkembang di Tangan DPR

14 Maret 2024   15:52 Diperbarui: 14 Maret 2024   15:52 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Wacana pembentukan  Panitia Khusus dalam kasus dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pencabutan dan pengaktifan kembali izin usaha pertambangan (IUP) serta hak guna usaha (HGU) oleh Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, nampaknya mulai mengadapi tantangan. Komisi VII DPR RI  yang membidangi sektor ini dan sebelumnya kencang bersuara untuk wacana pembentukan tim tersebut sepertinya mulai masuk angin.  Pasalnya,  seminggu setelah heboh soal dugaan penyimpangan dan isu kutipan bagi pengusahan yang izinnya ingin diihidupkan kembali beredar kencang di media, kini  berita dan wacana tersebut sepertinya mulai lesu dan ditinggalkan.

Kecurigaan tersebut pantas dirasakan, seperti dikatakan oleh Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso, jika Komisi VII tak merealisasikan wacana pembentukan Pansus tersebut patut dicurigai ada kesepakatan politik di balik diamnya DPR. Apalagi jika keadaan itu benar adanya, bahwa pansus layu sebelum berkembang maka patut dicuriga adanya putusan politik di balik itu semua yang melindungi dan berlatar  kepentingan tertentu,"kata  Sugeng

Kondisi mencurigakan tersebut bukan sesuatu yang asal muncul, karena seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya, terma Pansus di  DPR selalu berkaitan dan sarat kepentingan politik, seperti hak angket yang juga dibentuk oleh para anggota dewan. " Ide dan wacana tentang Pansus, angket, interpelasi, semua ada dalam ruang proses politik dan penuh dinamika dengan nuansa perbedaan kepentingan dan bagi-bagi kue kekuasaan yang bisa diwujudkan dengan konsesi dan kesepakatan tertentu," ucapnya. Dengan fakta yang demikian,  Sugeng berharap Komisi VII  seharusnya bersikap tegas merespon hal tersebut. Sebab, Bahlil juga diduga meminta fee sebesar Rp25 miliar kepada pengusaha tambang yang ingin mengaktifkan perizinannya.

Jika Pansus dibentuk dan bertugas untuk membongkar kebenaran faktualanya, diharapkan kasus tersebut tak menguap lepas begitu saja tanpa ada penyelidikan DPR. Langkah tersebut tidak bisa disamakan dengan upaya hukum yang bermuara di pengadilan  "Ini berbeda dengam aksi hukum. Kalau ada bukti laporkan ke APH (Aparat Penegak Hukum) untuk diselidiki sebagai dugaan tindak pidana," terangnya.

Tak cuma desakan Pansus oleh DPR, KPK juga dimninta turut menyelidiki  dugaan upeti yang diberikan kepada Bahlil tersebut tanpa harus menunggu adanya laporan. Tindak proaktif itu bisa dilakukan karena dalam kasus ini yang terjadi adalah indikasi penyalahgunaan wewenang.  Di luar pengamatan masyarakat, KPK tentu sedang bekerja mengumpulkan bahan dan keterangan meski laporan resmi.  Dan saya malah sarankan kalau ada bukti dugaan korupsi dalam jabatan laporkan ke penegak hukum yaitu ke KPK atau Kejakksan Agung dan Polri," tuturnya.

Sebelumnya, Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto membenarkan rencana pemanggilan Bahlil dilakukan terkait dugaan penyelewengan wewenang. Bahlil bakal dipanggil dalam kapasitas sebagai Ketua Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi.

Sugeng Suparwoto mengatakan, Bahlil diduga menyalahgunakan wewenang sebagai ketua satgas dalam mengevaluasi IUP serta hak guna usaha (HGU) lahan sawit beberapa perusahaan.

Sementara itu, anggota Komisi VII DPR Mulyanto mengklaim bahwa berbagai fraksi di Komisi VII DPR mendukung pembentukan pansus tambang. Pansus itu diperlukan untuk mengusut segala macam dugaan pelanggaran yang dilakukan Satgas Penataan Investasi yang dipimpin Bahlil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun