Mohon tunggu...
batu tulis
batu tulis Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas dan pengamat kehidupan sehari-hari

Dinamika dalam masyarakat yang terwakili dalam berbagai isu baik politik, sosial maupun ekonomi menjadi tema yang tak habis-habisnya untuk dibahas

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menunggu Penjelasan Bahlil Lahadalia Soal Izin Tambang di Maluku Utara

5 Maret 2024   23:51 Diperbarui: 5 Maret 2024   23:51 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) angkat bicara terkait proses perizinan pertambangan nikel di Maluku Utara (Malut) dan berencana meminta penjelasan dari Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia.

Langkah ini merupakan respons atas desakan tegas Anggota Komisi VII DPR, Mulyanto, yang mendesak KPK untuk memeriksa Bahlil dalam kapasitasnya sebagai Kepala Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi.

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, menyampaikan, "KPK akan memeriksa informasi dari masyarakat dan laporan investigasi majalah Tempo. Kami akan melakukan klarifikasi kepada pihak-pihak yang dilaporkan terlibat dalam proses perizinan tambang nikel."

Menurut Alex, proses ini akan dimulai dengan koordinasi antara penyidik KPK dan Kementerian Investasi/BKPM untuk memastikan kelancaran penyelidikan. "KPK akan berkoordinasi dengan Kementerian Investasi/BKPM," tambahnya.

Mulyanto menyoroti dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Bahlil dalam pencabutan dan pengaktifan kembali Izin Usaha Pertambangan (IUP) serta Hak Guna Usaha (HGU) lahan sawit di beberapa daerah. "Satgas yang dipimpin oleh Bahlil seharusnya menjadi domain Kementerian ESDM, karena UU dan kepres terkait usaha pertambangan berada di wilayah kerja Kementerian ESDM, bukan Kementerian Investasi," ungkap Mulyanto.

Lebih lanjut, Mulyanto menduga Bahlil terlibat dalam praktik meminta imbalan uang miliaran rupiah atau saham dari perusahaan-perusahaan tertentu untuk mencabut dan mengembalikan IUP dan HGU. Desakan dari Mulyanto ini didasarkan pada kekhawatiran akan adanya tumpang tindih kepentingan politik dalam satgas yang dibentuk menjelang Pilpres 2024.

Mulyanto menyatakan, "Keberadaan satgas ini bisa merusak ekosistem pertambangan nasional, dan pemerintah terkesan memberikan wewenang secara semena-mena pada lembaga tertentu. Urusan tambang, yang semestinya menjadi kewenangan Kementerian ESDM, kini justru diambil alih oleh Kementerian Investasi, padahal ini tidak hanya soal investasi tapi juga melibatkan aspek lingkungan hidup dan kedaulatan pemanfaatan sumber daya alam nasional," tegas Mulyanto."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun