Baru-baru ini, kita dikejutkan oleh seorang pria bernama Ryan Tumiwa. Ryan mengajukan permohonan uji materi ke Mahkama Konstitusi terkait UU Hukum Pidana pasal 344, yang berbunyi, "Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun." Ryan mengajukan permohonan ini dengan sebuah alasan tertentu. Dia berniat mengakhiri hidupnya karena merasa depresi dalam menjalani kehidupannya yang sebatang kara dan sulit mendapatkan pekerjaan. Ryan merasa UU itu menghalangi niatnya untuk mengakhiri hidupnya secara "legal".
Tulisan ini tidak akan membahas kasus etika euthanasia. Tulisan ini tidak akan bersentuhan dengan pertanyaan-pertanyaan moral diseputar euthanasia. Tapi tulisan ini akan mencoba melihat peristiwa ini dari sudut pandang yang lain, yaitu pendidikan, khususnya pendidikan tinggi (dikti).
Profil Ryan adalah lulusan salah satu universitas mentereng di negeri ini, Universitas Indonesia. Ryan dikenal sebagai mahasiswa pintar dengan IPK 3,37 dalam menyelesaikan program S2 di kampus tersebut. Dia dikenal rajin dan ulet sebagai mahasiswa. Seperti dituliskan dalam beberapa media, beberapa kolega yang mengenal Ryan serasa tidak percaya kalau dia mengajukan permohonan itu.
Apa yang membuat ini unik? Setelah membaca liputan-liputan media tentang fenomena ini, secara spontan saya bertanya, "Kenapa mahasiswa lulusan dari kampus top dengan IPK memuaskan bisa merasa depresi karena tidak kunjung mendapatkan pekerjaan?" IPK yang memuaskan menunjukkan Ryan adalah mahasiswa patuh yang mengikuti semua program pelatihan dalam dunia kampus kita di Indonesia. Tapi dengan segala kepatuhan itu, ternyata Ryan hanyalah seorang yang menambah panjang antrian sarjana pengangguran di republik ini.
Ryan adalah fenomena puncak gunung es yang terlihat. Dalam survey yang diliris kompas.com, pada tanggal 11 Juni 2014, dengan judul, "MAYORITAS SARJANA INDONESIA MASIH MENCARI KERJA", mengutip survey dari Kemendikbud bahwa 83,87% sarjana Indonesia adalah sarjana pencari kerja. Itu artinya delapan/sembilan dari sepuluh sarjana kita adalah pencari kerja. Â Ini menunjukkan, kaum elit intelektual adalah golongan dengan mentalitas karyawan. Kaum intelektual yang disematkan kepada mereka yang menempuh pendidikan khusus dengan gelar maha dari segala siswa, ternyata tidak memiliki cukup kreatifitas selain menunggu lamaran dari perusahaan untuk menggaji. Inilah ironinya, pendidikan tinggi yang awalnya hadir sebagai salah satu elemen untuk pemecah solusi dari permasalahan bangsa malah hadir sebagaj sebuah masalah tersendiri bagi bangsa. Ada apa dengan pendidikan tinggi kita?
Kita, di Indonesia, kini sedang berhadapan dengan berbagai  permasalahan pelik. Pertama, kita akan menghadapi sebuah situasi seperti dikutip dari liputan6.com, pada Mei 2014, oleh World Bank East Asia and Pacific Regional, Vice President Axel van Trotsenburg mengatakan pada 2020, Indonesia harus menghadapi 30 juta tenaga kerja baru. Ini merupakan sebuah permasalahan serius, yang jika tidak ditanggulangi dengan membuka lapangan pekerjaan akan menyebabkan permasalahan lain, seperti tingginya tingkat kriminalitas, permasalahan urbanisasi, dan berbagai permasalahan lain dengan efek dominonya. Kedua, kita berhadapan dengan sistem pendidikan tinggi yang cenderung membentuk manusia itu lebih mengandalkan daya ingatnya daripada daya kreatifnya. Pendidikan tinggi kita masih belum menjalankan pendidikan dengan berdasar pada pemecahan masalah, tapi masih hanya sampai pada batas mengingat dan menghafal. Jadi ini menyebabkan cara berpikir kritis dan memecahkan masalah menjadi ciri yang terhilang dari generasi mahasiswa sekarang. Kondisi demikian membuat pemuda dan mahasiswa memang jadi generasi yang miskin imajinasi. Ketiga, kita kelak akan menghadapi era persaingan pasar bebas dimana seleksi alam menjadi wasit utama. Motto "yang kuatlah yang bertahan" tentu menjadi hukum utama dalam situasi persaingan seperti itu. Jika kita tidak bersiap, maka sesuai dengan teori evolusi "kematianlah" yang menjadi bagian dari si lemah dengan digantikan individu yang lebih kuat.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, Bab 1, pasal 5a, dengan jelas mengatakan bahwa pendidikan tinggi bertujuan untuk menciptakan mahasiswa yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, kreatif, mandiri, terampil, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa. Dengan tridarma perguruan tinggi, maka seharusnyalah pendidikan tinggi harus menjadi sarana utama dalam menyelesaikan permasalahan bangsa. Ryan malah menunjukkan kepada kita betapa rapuhnya sistem pendidikan tinggi kita. Ryan menampilkan sebuah profil mahasiswa yang jauh dari tujuan penyelenggaraan pendidikan tinggi. Ryan seharusnya menyadarkan kita akan bahaya laten situasi pendidikan tinggi kita. Kita mungkin bergumam, "Ah, itu kan cuma Ryan seorang!", tapi itu pun tidak menutup kemungkin lain kalau masih ada "ryan-ryan" lain disekitar kita yang tak terdeteksi media dan tak muncul ke permukaan.
Pertanyaan kritis yang bisa diajukan dan dipikirkan kembali adalah, "Apakah Ryan bisa menjadi rumusan utama dari profil mahasiswa Indonesia?" Sebagai orang yang kesehariannya bergelut dengan mahasiswa, dan jika Ryan adalah ciri lulusan mahasiswa yang miskin imajinasi, tidak kreatif, tidak kritis, mudah menyerah, dan pasif menunggu jawaban perusahaan atas lamaran yang dilemparkan, maka saya jawab, "Ya, memang demikianlah profil mahasiswa dan sarjana kita. Mahasiswa dengan profil Ryan." Saya sering bertanya kepada mahasiwa yang akan lulus dan yang baru lulus, "Kamu mau buat apa setelah ini?" Mereka pada umumnya hanya memberi dua jawaban saja, "Aduh, saya tidak tahu, bang." atau jawaban kedua, "Yah, saya baru lempar lamaran sambil menunggu penerimaan PNS." Bagi saya ini adalah sebuah jawaban yang menyedihkan. Saya sedih karena betapa dangkal dan miskinnya para calon dan sarjana kita, bahkan dalam hal bercita-cita sekalipun. Sementara kita semua tahu, bercita-cita adalah sesuatu yang masih gratis di negeri ini. Dengan fenomena seperti ini, maka tiga puluh juta tenaga kerja baru pada tahun 2020, bisa saja diantara mereka sebagian besar adalah sarjana dengan profil Ryan.
Fenomena Ryan seharusnya membuat pendidikan tinggi kita terbangun dari mimpinya. Ejekan kawan-kawan kelompok kiri yang mencurigai sekolah hanya pabrik buruh dan karyawan memang sudah selayaknya untuk direnungi dengan serius. Kampus yang miskin karya ilmiah, pendidikan dengan metode yang monoton, cenderung menciptakan mahasiswa penghafal, harus segera direvolusi. Kampus harus mendorong mahasiswa agar lebih berani dan kreatif dalam menciptakan lapangan pekerjaan, bukan malah sebaliknya hanya menunggu penerimaan dari perusahaan atas lamaran yang diajukan. Kampus harus merevolusi mental karyawan yang tampaknya sudah mendarah daging dalam diri mahasiswa dengan merubahnya menuju mental wiraswasta. Jika tidak, maka  jangan-jangan kalau seandainya permohonan Ryan dikabulkan MK, bisa saja angka bunuh diri legal di negara ini menjadi semakin tinggi (tak) terkendali. Ah, semoga saja tidak.[]
@rintologi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H