Mohon tunggu...
Rinto Pangaribuan
Rinto Pangaribuan Mohon Tunggu... -

Santai Sajalah Kawan!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi: Rakyat Tak Pernah Salah

31 Januari 2015   02:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:04 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sekali lagi saya katakan, saya tak punya otoritas akademik untuk bicara politik. Saya hanya bicara lewat pengamatan biasa saja dengan pemahaman filosofi politik yang masih hijau.

Sebenarnya apa itu demokrasi? Sederhana saja, demokrasi adalah sebuah sistem politik yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Setidaknya itulah yang saya pahami lewat belajar di sekolah lewat mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) dan PPKn. Intinya rakyatlah yang menjadi poros utama dari demokrasi. Seluruh elemen demokrasi hadir untuk melayani rakyat. Semua aturan dan prosedur demokrasi, termasuk hukum ketatanegaraan, bisa dinisbikan atas nama rakyat. Rakyat tak boleh salah dalam demokrasi karena inti dari demokrasi adalah kehendak rakyat.

Tapi persoalannya sekarang malah jadi rumit. Siapa itu sebenarnya rakyat? Saya masih jelas dengan pernyataan yang tak jelas dari seorang menteri yang mengaku jelas tahu mana rakyat yang jelas dan tak jelas sehingga membuat situasi malah tak jelas. Dengan entengnya dia mengategorikan rakyat dalam sebuah dikotomi: rakyat jelas dan tidak jelas. Akhirnya ini akan melahirkan sebuah pertanyaan, "Jika ada rakyat yang tak jelas, maka sebenarnya siapa yang dilayani oleh demokrasi itu?" Kita juga selalu disodorkan pernyataan dari para elit tokoh wayang tanpa dalang itu, para wakil rakyat, jika berhadapan dengan sebuah kritik yang bersumber dari rakyat. Mereka biasanya akan bertanya, "Rakyat yang mana?" Bukankah ini sebagai sebuah ironi bahwa seorang wakil rakyat pun tak mengerti siapa yang diwakilinya?

Kasus Jendral yang satu ini pun lain lagi. Suara rakyat tak bisa lagi dibohongi, kita tidak merestui bahwa Jendral tersangka ini jadi pimpinan institusi penegak hukum. Siapalah itu yang salah dengan semua tetek bengek praduga tak bersalah, rakyat tak punya waktu untuk menelaah itu. Satu yang pasti, rakyat tak setuju tersangka koruptor jadi pemimpin kepolisian.

Namun, ini kan mentah ditangan para pengacara dan para wakil rakyat yang lebih mengedepankan logika hukum tipikor atau logika hukum ketatanegaraan yang ribet dan "njelimet" itu. Dibalik itu semua, mereka menafikan begitu saja suara rakyat. Logika "cerdas" mereka seolah membius rakyat bahwa apa yang mereka lakukan punya pijakan universal dan menjadi benar. Suara rakyat itu bagaimana nasibnya? Mereka akan dengan santai jawab, "Suara rakyat yang mana?" karena dikotomi rakyat sudah ada tanpa dasar kategori yang entah seperti apa.

Sederhananya begini saja. Rakyat bilang, "Kami tak mau Jendral itu." Tapi para elit bilang, "Menurut UU Tata Negara...bla...bla...bla..., itu tidak bisa. Dia harus dilantik." Jadi siapa yang diatas apa? Apakah rakyat untuk UU atau UU untuk rakyat? Ini logika yang sederhana saja sebenarnya. Kalau tuan atas demokrasi adalah rakyat, maka seharusnya UU itu ada untuk melayani rakyat. Sifat dari UU dan bahkan "hukum" pun harus bersifat nisbi.

Bukankah sifat menisbikan ini akan menjadikan tirani mayoritas? Iya, memang. Tapi itulah resiko demokrasi, persis seperti argumentasi Platon ketika menolak demokrasi. Tapi prinsip yang terutamanya tetap sama, kehendak rakyat harus yang terutama. Kehendak rakyat tidak bisa diatur menjadi deterministik sesuai dengan UU, tapi sebaliknya UU yang harus deterministik terhadap kehendak rakyat.

Tapi apa yang terjadi sekarang? Semua berbalik. Kita dibohongi oleh olah nalar pengacara dan mereka yang menyebut diri sebagai wakil rakyat. Mereka bilang kita harus menihilkan kehendak rakyat dan tunduk pada hukum dan UU. Itu demokrasi palsu. Dihadapan uang dan politik kuasa, semua nilai menjadi rata dan berbalik. Rakyat tak pernah salah, itu baru disebut demokrasi. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun