Mohon tunggu...
Rinto Pangaribuan
Rinto Pangaribuan Mohon Tunggu... -

Santai Sajalah Kawan!!!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kehilangan Keindonesiaan

17 Desember 2014   18:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:07 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hampir setiap tahun, wacana pelarangan mengucapkan "Selamat Natal" selalu hadir dibangsa ini. Legitimasi teologis bahwa sipengucap adalah kafir menjadi sebuah momok bagi sebagian penganut muslim. Walau ada juga yang menolak, ngeyel, atau bahkan tidak peduli dengan seruan para ulama, yang tak jarang kondang itu, tetap saja pelarangan itu menjadi sebuah persoalan tersendiri dalam wacana persatuan Indonesia.

Saya sendiri, sebagai seorang Kristen, sebenarnya tidak terlalu peduli apakah saudara saya umat muslim menyatakan halal atau haram untuk mengucapkan "Selamat Natal" kepada umat Kristen. Itu dikarenakan saya sudah tidak mau lagi terjebak dalam semangat euforia perayaan keagamaan karena agama selalu melampaui seremoni, agama selalu bicara esensi. Namun, persoalan larang-melarang ini jadi wacana serius karena sebagian besar dari kami umat Kristen, masih menganggap bahwa Natal bukan hanya bicara seremoni, tapi dia sudah jadi bagian dari identitas. Jadi, mengingkari itu, sama saja tidak mengakui identitas kehadiran kami di Indonesia ini. Alasan kedua yang jauh lebih genting adalah pelarangan itu berpotensi untuk membuat kita menjadi tidak Indonesia lagi.

Saya pribadi tidak akan mau masuk dalam ranah teologi Islam dalam hal legitimasi halal atau haram mengucapkan itu, alasannya tentu saja sederhana, karena saya bukan seorang muslim. Saya belum mampu merasakan ajaran suci umat muslim, sehingga tidak punya hak untuk melihat dengan kacamata itu. Saya justru mau melihat persoalan ini dari kacamata keindonesiaan. Apa yang terjadi sekarang ini memperlihatkan bahwa sebenarnya kita sudah mulai kehilangan keindonesiaan kita.

Sebuah disertasi yang baik dari Eka Darmaputera, "Pancasila: Identitas dan Modernitas Sebuah Tinjauan Budaya dan Etis" memberi kita sebuah arah bagaimana seharusnya menjadi seorang Indonesia. Tulisan singkat begini tentu tidak akan bisa memaparkan semua kajian metodologis disertasi itu. Tapi setidaknya mari kita peras saja demi menjawab persoalan yang kita hadapi sekarang dalam wacana larang-melarang itu.

Ciri asli utama seorang Indonesia sebenarnya adalah kemampuannya untuk menahan diri, menahan diri untuk menunjukkan identitas sepenuhnya demi menciptakan keserasian. Keserasian menjadi fokus utama bangsa ini sejak zaman Deutro-Melayu diabad 4-3 SM karena sejak awal kita adalah bangsa yang metropolitan atau dalam bahasa Eka Darmaputera, bangsa ini lahir dalam nuansa internasional atau dalam bahasa yang mudah dicerna adalah bangsa majemuk. Bangsa Indonesia bukanlah sebuah bangsa yang lahir dari sebuah kebudayaan yang tunggal satu lapis saja. Bangsa ini lahir dari interaksinya dengan budaya asli Indonesia, Hindu, dan Islam. Perkawinan seperti ini tentu menghasilkan begitu banyak varian kebudayaan. Belum lagi ditambah kenyataan bahwa kontur geografis kita, dimana sejak awal kental dengan ciri masyarakat desa, memberi warna tersendiri juga bagi hibrida kultural kompleks yang kita sebut Indonesia ini. Sebuah fakta yang tak terbantahkan bahwa nusantara ini lahir dari sebuah realitas kemajemukan. Tidak ada satu pun negara di dunia ini yang punya keunikan pluralitas seperti apa yang ada di Indonesia. Tidak ada!!

Kenyataan kemajemukan ini memang membuat Indonesia menjadi sebuah bangsa yang rentan akan ancaman disintegrasi tapi juga sangat dekat dengan wacana integrasi. Melihat Indonesia hanya dengan menekankan ancaman disintegrasi saja adalah melihat dengan cara yang tidak seimbang. Integrasi dan disintegrasi harus didudukkan dalam porsi yang seimbang karena hanya dengan cara inilah kita bisa melihat Indonesia dengan cara yang objektif.

Nenek moyang kita paham bahwa perpecahan itu adalah sebuah ancaman serius dan bisa merusak keserasian. Usaha yang dilakukan untuk menjaga keserasian ini adalah menahan diri itu. Contoh paling dekat terlihat dalam acara "slametan" dalam budaya jawa. Slametan adalah sebuah ritus yang berangkat dari sebuah pemahaman ontologis tentang sebuah ketunggalan realitas. Bahwa semua realitas bersimpul pada sebuah Yang Tunggal membuat keharmonisan, keserasian, dan keseimbangan menjadi sebuah dasar terhadap pandangan etis masyarakat Jawa dan Indonesia. Dalam acara slametan, semua warga sekitar diundang pada acara itu tanpa memandang agama, suku, ras, dan warna kulit. Semua identitas masuk dan diterima. Tapi demi menjaga keserasian itu, tidak semua warga menunjukkan diri seutuhnya. Warga Muslim akan berdoa dengan cara yang islami, tapi tidak memaksa cara itu pada mereka yang non-muslim. Umat muslim menahan diri untuk tidak memaksakan kehendak kepada yang non-muslim. Sementara yang non-muslim datang keacara itu dengan juga menahan diri untuk menunjukkan identitas sepenuhnya. Dia hadir disana, katakanlah sebagai Kristen, tapi tidak melulu mengharuskan semua acara harus dilakukan dengan cara Kristen. Dia hadir disana sebagai seorang Indonesia yang mengedepankan keharmonisan. Itulah sebabnya, menahan diri menjadi ciri utama seorang Indonesia sejak dahulu. Slametan adalah sebuah simbol dimana perbedaan diterima, tapi tidak diterima sepenuhnya. Slametan adalah simbol dimana perbedaan bisa bersatu, tapi tidak bercampur, tapi bisa berpadu.

Paradigma ini yang sudah hilang dari kenyataan masyarakat sekarang ini. Dulu, agama di Indonesia selalu hadir dalam bentuk yang selalu menyerap kebudayaan. Tidak ada satu pun agama hadir dalam wajah yang sangat doktriner. Agama di Indonesia selalu hadir dalam wacana yang sangat kongkrit. Justru inilah yang mebuat Islam diterima sebagai agama mayoritas dan Kristen sebagai agama "gagal". Tidak ada itu agama "murni". Agama apa pun yang masuk ke Indonesia akan selalu mengambil bentuk baru yang berbeda yang disesuaikan dengan kultur asli Indonesia. Agama di Indonesia tidak pernah diterima dalam bentuk paling asli. Itu sebabnya, sejarah membuktikan bahwa jika pun Hindu masuk ke Indonesia, Indonesia tidak pernah jadi negara Hindu. Demikian juga halnya dengan Islam, Kristen, dan agama lainnya. Agama selalu lahir dalam bentuk menahan diri. Agama yang hadir di bumi Nusantara, sejatinya tidak pernah menampilkan wajah doktriner yang ketat. Dia akan selalu beradaptasi dengan cara yang Indonesia. Singkatnya, agama impor dari luar akan berubah wajah menjadi Indonesia. Islam bukan menjadi Islam Arab, tapi menjadi Islam Indonesia. Ini dikarenakan tugas untuk menjaga keserasian dan keharmonisan menjadi begitu penting. Itu yang jadi kunci nusantara bisa tegak berdiri seperti sekarang.

Fenomena larang-melarang yang kita lihat sekarang ini menunjukkan bahwa kita sudah kehilangan keindonesiaan. Islam yang terlihat adalah yang menonjolkan ke-Arab-annya, bukan Islam Indonesia yang berdiri diatas pemahaman kemajemukan. Kita kehilangan keindonesiaan secara sporadis. Kita kehilangan keseimbangan dalam menjaga keharmonisan. Kita rela, demi alasan membela doktrin, mengingkari identitas saudara sebangsa kita. Kita seperti kehilangan kontrol untuk menahan diri sedemikian rupa demi sesuatu yang kita sebut membela agama. Kita kehilangan ciri bangsa kita yang selalu mengedepankan mufakat dari pada ego individual atau pun komunal. Kita kehilangan keindonesiaan karena kita lupa mencoba untuk merasa, bertepaselira, dan bertenggangrasa. Kita kehilangan keindonesiaan karena kita lupa pada nilai kemanusiaan.

Demikianlah, maaf jika ada salah kata. []

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun