Mohon tunggu...
Politik

Popularitas AHY Meroket, Siapa Terancam?

13 Maret 2018   15:05 Diperbarui: 13 Maret 2018   19:21 2477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik makin panas. Setelah di Bali PDIP deklarasikan Jokowi sebagai capres 2019, Gerindra Jakarta capreskan lagi Prabowo untuk pemilu mendatang. Kita ketahui, sebelumnya, Golkar, Nasdem, Hanura dan PPP juga telah secara resmi usung kembali Jokowi sebagai calon presiden. Dan, beberapa hari yang lalu, Partai Demokrat bikin gebrakan politik yang dihadiri belasan ribu kadernya di Sentul Jawa Barat. Memang Demokrat belum deklarasikan siapa yang bakal diusung sebagai capres. Tetapi, partai berlambang "mercy" itu telah memunculkan wajah politisi baru, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang namanya makin melesat satu tahun terakhir ini.  

AHY, 40 tahun, memang menjadi "the rising star" di kancah politik menjelang pemilu 2019. Hampir semua lembaga survey mengunggulkan namanya, terutama sebagai kandidat Wakil Presiden yang kuat. AHY mengungguli politisi-politisi kawakan yang juga berambisi untuk menjadi capres atau cawapres, termasuk mantan-mantan seniornya di TNI. Hanya dalam waktu satu setengah tahun sejak meninggalkan TNI dan kemudian berkiprah di dunia politik, popularitas dan elektabilitas AHY terus melejit. Tokoh muda yang menjadi idola generasi milenial tersebut, meskipun kalah dalam pemilihan gubernur Jakarta, justru di tingkat nasional namanya makin berkibar.

Bisik-bisik di lingkaran dalam partai Demokrat, termasuk jalan pikiran SBY, sebenarnya AHY disiapkan untuk bertarung di pilpres 2024 mendatang. Bukan untuk pemilu tahun depan. Namun, SBY tahu jika perolehan Partai Demokrat dalam pemilu 2019 tidak tinggi, dengan PT 20%, tiket untuk bertanding di tahun 2024 tidak akan didapat. Jadi, secara politik masuk akal jika Demokrat gencar mengusung sosok AHY agar elektabilitasnya makin meningkat.

Logika politik mengatakan, kehadiran AHY yang dianggap "stealing the show" ini bakal menjadikan ancaman bagi banyak pihak. Terutama bagi yang punya ambisi untuk menjadi cawapres. Mereka takut jika AHY, yang memiliki konstituen besar dari generasi milenial yang jumlahnya mencapai 100 juta orang, atau 50% lebih dari angka pemilih, menjadi cawapres yang tak tertandingi.

Jokowi sendiri tentu tidak merasa terancam. Elektabilitasnya masih jauh di atas Prabowo, apalagi AHY. Jokowi juga tahu kalau gambar AHY terpasang di berbagai penjuru tanah air, bukan untuk menantangnya, tetapi karena Demokrat ingin mendapatkan keuntungan politik dari datangnya kader baru yang memiliki karier cemerlang di dunia militer itu. Tetapi, lain halnya mereka yang sedang mengantri untuk menunggu nasib baik, digandeng Jokowi menjadi pendampingnya dalam pilpres mendatang. Y

ang ketar-ketir dipastikan termasuk "orang dalam" di kandang banteng, seperti Budi Gunawan dan Puan Maharani. Yang dari kalangan partai di luar PDIP, bisa Airlangga Hartarto, Ketua Umum Golkar yang menjadi benteng pertahanan kedua Jokowi setelah PDIP, atau Wiranto yang dijagokan Hanura, atau Surya Paloh. Atau juga Muhaimain Iskandar dan Rommy, yang wajahnya terpampang di baliho-baliho besar di seluruh Indonesia, yang siapa tahu dapat durian runtuh. Atau juga Sri Mulyani yang dianggap punya peluang besar. Atau juga Moeldoko dan Ridwan Kamil, yang diam-diam punya ambisi besar untuk menjadi cawapres. Konon banyak tokoh yang merasa diberikan harapan oleh Jokowi. Masuk akal jika di mata mereka AHY bakal menjadi ancaman nyata.

Di mata mereka-mereka yang juga punya ambisi untuk jadi capres atau cawapres, tetapi di luar kubu Jokowi, seperti Gatot Nurmantyo, Anies Baswedan, Anis Matta dan Zulkifli Hassan, yang berharap punya kans untuk menjadi cawapresnya Prabowo, juga akan menganggap AHY sebagai lawan keras mereka. Meskipun, barangkali mereka tidak akan bersaing dalam satu ring. Prabowo sendiri diperkirakan juga kurang senang dengan makin bersinarnya sosok AHY. Bagaimanapun sesama baju hijau Prabowo tak ingin ada yang menyainginya, apalagi dia merasa lebih senior dibandingkan AHY.

SBY, sebagai mantan Presiden yang dua kali memenangkan pilpres, seorang politisi yang kuat dalam strategi, dan punya naluri politik yang tinggi, tentu menyadari betul tantangan yang akan dihadapinya. Juga yang bakal dihadapi oleh Demokrat dan AHY sendiri. Saya yakin seorang SBY merasakan pengalaman yang pahit, ketika AHY dikalahkan dalam pemilihan gubernur Jakarta. Dalam waktu satu setengah bulan, AHY yang menurut sejumlah lembaga survey bertengger di urutan paling atas, harus kalah karena gempuran yang dahsyat dari berbagai arah. Baik yang kasat mata, maupun permainan di balik layar.

Pesan saya, seorang warga bangsa yang makin memahami kasar dan kejamnya dunia politik, agar AHY berhati-hati. Waspada. Kesan saya AHY ini, sebagaimana ayahnya dulu ketika baru memasuki gelanggang politik, sosok yang polos. Kalau terlalu polos bisa kalah. Juga hati-hati untuk SBY dan Partai Demokrat. Kelemahan SBY itu dianggap "terlalu baik". 

Perang politik tidak selalu berlandaskan hukum dan etika. Segala cara bisa dihalalkan. Kekuasaan politik dan uang juga bisa menghancurkan siapapun. Melalui media sosial, yang tak kenal aturan, lawan-lawan politik juga bisa melakukan serangan-serangan yang mematikan. Apa saja. Fitnah atu bukan, "hoax" atau berita benar, tak jadi soal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun