Hampir  satu Abad lalu santri-santri Syekh Nawawi di seantero Jawa sebuah nama untuk sebutan kawasan nusantara kala itu yang teritorialnya hampir melingkupi Asia Tenggara kini. Mereka para santri Syeikh Nawawi al- Bantani diresahkan dengan kehadiran  gerakan  puritanisasi wahabisme.Â
Gerakan ini menuduh tradisi amaliah warga Nusantara kaum santri tradisional dianggap sebagai kaum bid'ah, khurafat dan berdimensi  takhayul. Yang padahal tradisi santri jelas memiliki konstruksi dalil-dalil yang teramu dari al-Qur'an, hadits dan racikan Ijtihad dalam bingkai atsar sahabat dan ulama.Â
Jadilah tradisi keagamaan keislaman di Nusantara begitu unik dinamis dan tidak anti terhadap budaya lokal. Bahkan yang ada saling mengisi tanpa harus terjadi pertentangan diantara keduanya Islam dan budaya lokal.Â
Ini bisa dilihat dari penanggalan jawa dengan istilah satu Suro. Atau dalam bahasa Gus Dur Pribumisasi Islam. Santri-santri Syekh Nawawi berkumpul, bermusyawarah untuk membentuk jam'iyah yang kemudian menjadi jam'iyah Nadhlatul Ulama. Saat kumpul tersebut utusan Bantenpun hadir. Dan menjadi jajaran pengurus utama PBNU periode awal. Ini bisa dibaca dalam buku sejarah harokah pergerakan ulama Nusantra jejaring santri-santri Syeikh Nawawi al-Bantani. Yg diulas begitu apik kaya referensi otoritatif tokoh muda NU Zainul Millale Bizawie.Â
 Kini menjelang satu Abad NU kokoh membangun gerbong arus  pemahaman Islam moderat. Tidak mempertentangkan nation state dengan ideologi Islam dalam hidup berbangsa dan bernegara.Â
NU kini mengepak sayap  mengglobal dengan hidangan Islam tawazun, ta'dil, dan tawasuth. Ini menepis Islam identik dengan radikalisme dan berujung pada tindakan terorisme.
 Indonesia sebagai komunitas Islam terbesar di dunia merupakan "cagar" prototype Islam Ramah dan adaptable terhadap kehidupan yang dinamis. Tak heran jika NU tak alergi terhadap demokrasi dan hak asasi manusia. Bahkan anak-anak muda NU begitu progressif dalam memahami dan mencerna ordonansi wahyu dan hadis sehingga pada akhirnya tak mudah terpengaruh  dengan tawaran formalisme agama model " khilafah" pun syariatisasi negara. Â
Bagi kader NU agama adalah sumber spirit untuk membangun dan memelihara kehidupan. Di NU telah tumbuh akar tradisi akademik tingkat tinggi selevel kajian doktoral pada pendidikan formal yaitu tradisi Bahtsul masa'il yang dilaksanakan sejak Oktober 1926.Â
Di mana bahtsul masa'il  berfungsi menghimpun, membahas, dan memecahkan masalah-masalah waqi'iyah (aktual) yang terjadi di tengah masyarakat. Lewat event ini , hukum atas masalah-masalah aktual itu dapat ditemukan berdasarkan nash al-Qur'an dan as-Sunnah baik melalui penelurusuran pendapat-pendapat ahli hukum dalam al-Kutub mu'tabarah maupun dilakukan secara langsung istinbath hukum dari al-nushush al-syar'iyyah.
 Dalam pengambilan hukum bahtsul masa'il menyadari tidak seluruh peraturan-peraturan syariat Islam dapat diketahui secara langsung dari nash al-Quran, melainkan banyak aturan-aturan syariah yang membutuhkan daya nalar kritis melalui istimbath hukum.  Tidak sedikit ayat-ayat yang memberikan peluang  untuk hal tersebut baik dilihat dari kajian kebahasaan maupun kajian makna yang dikandungnya.Â
Dari itu dalam menetapkan hukum, kontek sosial memasyarakatan. Baik berupa konteks  geografis maupun kontek jamannya, menjadi tolak ukur yang praktis. Disamping itu juga harus membumikan nilai teologis yang terkandung dalam maqasid syari'ah. Tak heran NU selalu menghadirkan dinamisme kekinian dalam tataran hidup berbangsa dan bernegara. Sebagaimana hasil rakornas garut tentang national state kedudukan warga negara setara tidak ada warga negara kelas dua. Pun istilah sebutan kafir dalam kontek berbangsa dan bernegara.