agama dipahami berdasarkan framenya, situasi dan kondisi. Dari sini kaca pandang orang biasa dan kaum intelek berbeda cara merefleksikannya. Â Rasulullah pun memberikan jawaban yg berbeda padahal pertanyaannya sama, di sisi ini Rasulullah melihat siapa penanya dan apa aktifitasnya.
PengamalanTentang fiqh pun tafsir yang beragam itu banyak sekali perbedaan. Ada perbedaan karena memang sudut pandang situasi berbeda. Imam Syafe'i pun merevisi hasil ijtihadnya seiring waktu dan situasi berbeda dengan istilah qaul qadim dan jadid
Ini adalah sesungguhnya indikasi, segala sesuatu dinamis tergantung frame yang mengitarinya.
Agama berlaku sepanjang zaman, sepanjang hal yang terkait sosial kemasyarakatan difahami dinamis.
Tidak mengdogmatiskan sesuatu yang sesungguhnya bersifat partikular temporer disitu dan saat itu.
Agama turun untuk manusia bukan untuk hewan. Sementara manusia mahluk yang berbudaya dalam rangka menjalani kehidupan. Kehidupan tiap wilayah tentu berbeda pula. Termasuk cara bagaimana berpakaian dan adat sopan santun.
Teks wahyu turun dimaknai oleh budaya dimana teks itu turun, agar mudah dimengerti oleh kawasan tersebut. Bahasa wahyu tentang kehidupan sosial kemasyarakatan tentu menampilkan sesuatu yang ada disekitar agar mudah dicerna. Sebagai contoh nama-nama hewan ternak identik nuansa padang pasir seperti onta. Pun buah -buahan semisal kurma.
Kembali kepada teks suci mencernanya tak bisa secara leteral, jika literal sudah tentu infaq yang terbaik adalah yg paling dicintai "atasnama" dicintai bisa saja istrinya dijadikan "suguhan" tamu kehormatannya.
Atau salat cukup dengan mengingat Rabb. Karena teks sucinya demikian. Atau bisa juga puasa cuma 7 hari, karena selebihnya hanya pengulangan.
Pemahaman literal ini dalam kenyataan begitu nyata dan ada. Sebagai contoh ada ngustadz begitu PD bicara "pesta seks" ketika di surga, atau sibuk "merawani" kerjaan ahli surga.
Pemahaman demikian berangkat dari literal mencerna kenikmatan hanya sebatas selangkangan. Padahal terma seks muncul kala itu ditujukan kepada kaum awam badui yang lebih banyak menggunakan otot daripada otak.
Agama mengajarkan nilai-nilai luhur, itu bedanya insan dan binatang, kalau  sebatas seks apa bedanya dengan hewan.
Maka dari hasil pemahaman  literal ini Sigmund  Freund mengatakan agama hanya orientasi libido, atau sebagai ilusi .
Dari literal pula muncul kelompok Khowarij yang menghalalkan darah manusia karena berbeda faham dengan kelompoknya.
Kini bermutasi jadi neo khowarij atau salafi takfiri. Jalan juangnya jihad dengan menjadi pelaku bom bunuh diri.
Penomena penyerangan mabes Polri sebagai contoh dampak buruk beragama literal.
Agama seumpama matematika satu tambah satu harus dua.
Padahal bahasa agama adalah bahasa kehidupan, hukum sesuatu tergantung keadaan, situasi dan kondisi.
Sebagai contoh puasa wajib bagi muslim yang sudah taklif, tetapi boleh ditinggalkan bagi yg uzur, atau pekerja kasar yg bekerja mengandalkan tenaga dan mengganti nya dibulan lain. Begitulah hukum agama selalu melihat sisi- sisi kemanusian.
Tetapi dimata kaum literal agama adalah sesuatu yang kaku  tanpa mengenal sisi kemanusian, dari itu mereka mengatasnamakan agama menebar kebencian, permusuhan, tidak berhenti di situ, mereka lakukan aksi bom bunuh diri. Beragama mengancam kehidupan manusia.
Dari sinilah sesungguhnya kaum Atheist menyimpulkan agama hanya sebagai candu kehidupan.