*Upskilling Leaders Dalam Kepemimpinan*
Seri Leadership : 31
Oleh : Basuki Ranto*)
Di Era digitalisasi terjadi sebuah Disrupsi yang perlu direspon dengan beberapa komitmen oleh leader dan manager dalam sebuah kepemimpinan organisasi yang dinamis, agar perusahaan atau institusi tetap bisa eksis dalam melaksanakan kegiatan usaha pokoknya atau melaksanakan fungsi tugas yang menjadi embanan dalam sebuah institusi.
Disrupsi dapat dimaknai sebagai terjadinya perubahan secara gradual dalam skala besar akibat berkembangnya teknologi dan berkembangnya inovasi dan inovasi baru yang tiada henti, sehingga menuntut adanya perubahan sistem   dan tata kelola yang selaras dengan perubahan itu sendiri.
Pemahaman secara sederhana tentang skill adalah terkait dengan kemampuan seseorang dalam memiliki keterampilan, dan pengetahuan pada bidang tertentu. Ada dua jenis keterampilan yaitu keterampilan lunak (soft skill) dan keterampilan keras (hard skill). Pada dasarnya soft skill merupakan keterampilan yang sifatnya administratif sedangkan hard skill merupakan keterampilan teknis dan fokus, namun kedua memiliki hubungan komplementer dan sifatnya keterampilan ini saling melengkapi  dalam aktifitas operasional.
Dinukil dari grametcom yang menyebutkan bahwa Upskilling adalah sebutan untuk proses pengembangan keterampilan atau pengetahuan baru yang dilakukan oleh individu untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan daya saingnya dalam dunia kerja yang terus berubah. Ini melibatkan investasi waktu dan upaya untuk memperbarui atau meningkatkan keterampilan yang dimiliki individu, baik itu dalam bidang yang sudah dikuasai maupun bidang baru yang relevan dengan perkembangan teknologi dan tuntutan pasar kerja.
Dengan demikian agar disrupsi tersebut dapat direspon dengan bijak diperlukan peningkataan skill (upskilling) bagi pimpinan dan level manager pada organisasi melalui pembelajaran guna memperoleh tambahan pengetahuan terhadap teknologi yang akan masuk serta langkah antisipasi menghadapi tehnologi buatan (Atifacial Intelgence/AI).
Hal tersebut  menjadi penting mengingat teknologi baru memerlukan pengetahuan kekinian yang selayaknya melibatkan generasi Z, sementara posisi pemimpin yang ada berada pada posisi milenium atau generasi sebelumnya yang sudah akan ditinggalkan pada era AI.
Disisi lain dengan disrupsi tidak saja diperlukan pengetahuan terbarukan (upskilling) bagi pemimpin dan manajer, akan hal yang tidak kalah penting adalah diperlukan komitmen utuh dari leader terkait kepada pentingnya keputusan investasi dalam pengadaptadi teknologi dimaksud, sehingga manajemen langsung muncul kesadaran yang tinggi akan belanja investasi sebagai bagian dari asset perusahaan.
Menyikapi kondisi tersebut sudah menjadi keharusan bahwa upskilling merupakan keharusan agar organisasi mampu bersaing dengan kompetitif dan komparatif agar produk dan layanan menjadi unggul serta menjadi pemenang dalam persaingan di pasar.
Disadari sepenuhnya bahwa untuk memperoleh pengetahuan terbarukan menghadapi AI melalui pembelajaran dan peningkatan skill baik ketrampilan lunak (soft skill) maupun ketrampilan keras/canggih (hard skill) diperlukan proses pembelajaran yang terencana yang berdampak kepada biaya yang tidak sedikit sehingga pengeluaran untuk pembelajaran tersebut tidak dibebankan dalam beban operasional (operating expenses) akan tetapi perlakuan akuntansinya sebagai asset non finance ( asset tidak berwujud).
Disisi lain komitmen investasi guna memperoleh baik perangkat lunak (software) maupun perangkat keras (hardware) perlu menggunakan dana untuk pengadaannya, sehingga diperlukan perhitungan yang cermat melalui analisa keuangan yang tepat baik melalui analisa investasi maupun analisa biaya manfaat (cost benefit) sehingga mampu menghasilkan keuntungan maksimal (profitable).
*Kebijakan Upskilling*
Dalam rangka memperoleh peningkatan ketrampilan (Upskliing) melalui pembelajaran dan pengetahuan yang tepat diperlukan langkah kebijakan diantaranya:
(1) melakukan indentifikasi kebutuhan upskilling yang melibatkan leaders & managers secara berjenjang.
(2) melakukan analisa kesenjangan (gap) skill yang tersedia dengan yang dibutuhkan.
(3) menentukan prioritas program terkait dengan urgensi skill yang dibutuhkan.
(4) memilih metode upskilling melalui : learning formal atau informal dalam bentuk pelatihan , mentoring , penggunaan modul , sekolah formal ,perguruan tinggi dengan program studi (Corporate University) atau poli tehnik & program vokasi.
(5) Menentukan sistem pembelajaran yang dipilih : tatap muka, daring atau hybrid learning.
(6) melakukan evaluasi dampak setelah memperoleh upskilling.
Tentu saja masih memungkinkan metode lain yaitu melakukan tugas belajar di dalam maupun luar negeri seiring dengan tuntutan kebutuhan pengembangan.