Beras terkonotasi sama dengan pangan, mengingat beras merupakan makanan pokok penduduk Indonesia. Rakyat merasakan bahwa makan itu ya pakai nasi sekalipun hanya menggunakan lauk tempe, sambel dan seadanya saja sudah merasa enak. Tentu saja ini bagi masyarakat kecil yang berpendapatan pas-pasan apalagi yang tergolong miskin, sehingga beras merupakan bahan pangan pokok yang dibutuhkan oleh setiap penduduk yang ada dibelahan nusantara ini yang hingga saat ini belum ada barang substitusi.
Beberapa waktu terakhir masyarakat dihadapkan kepada suatu kondisi yang mencemaskan terkait dengan kebutuhan beras.
Fakta dilapangan menunjukkan bahwa masyarakat berteriak karena tingginya harga beras ditambah dengan terbatasnya persediaan beras di pasar.
Karena nilai konsumsi beras yang lebih besar dibandingkan produksi berasnya menyebabkan pemerintah harus melakukan impor beras ke negara lain agar kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia terpenuhi.
Mengutip data Badan Pangan Nasional (Bapanas), harga beras medium Selasa (2/1/2024) ada di Rp 13.200 per kg.
Dilansir dari Kompas Pedia(01-02-2024)menyebutkan kenaikan harga beras hingga Rp18.000 per kg yang terjadi akhir Februari 2024 merupakan rekor tertinggi dalam sejarah perberasan di Indonesia. Kenaikan harga beras ini jauh melampaui harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Bila dibanding dengan harga pada Januari 2024 sebesar
Rp 13.200/kg maka terjadi kenaikan lebih dari 36% merupakan kenaikan yang dramatis. Apalagi ketika dibanding dengan harga per Desember 2023 sebesar Rp 13.190/kg maka terjadi kenaikan  32%. Kemudian bila dibanding dengan harga beras akhir Desember 2022
sebesar Rp.10.830/kg (dikutip dari Panel Harga Pangan) maka terjadi kenaikan sebesar 66%.
Bagi rakyat pada penghasilan kecil kenaikan harga beras yang cukup spektakuler tersebut merupakan sebuah jeritan dan derita. Beban biaya hidup menjadi tinggi apa lagi harga kebutuhan bahan pokok lainnya juga menaik jelang Ramadhan dan Idul Fitri.
Suatu kondisi yang Ironis ditengah lahan pertanian cukup luas, masih kekurangan beras dan bahkan harganya melangit, sehingga tepat kiranya kalau ada ungkapan "tikus mati dilumbung padi" yang mengandung maksud negara yang subur makmur loh jinawi tetapi rakyat tidak bisa menikmati semisal kebutuhan beras.
Menurut data BPS 2023 menunjukkan luas lahan untuk panen padi diperkirakan sebesar 10,20 juta hektare dengan produksi padi sekitar 53,63 juta ton gabah kering giling (GKG). Bila disetarakan produksi beras pada 2023 diperkirakan sebesar 30,90 juta ton
dalam kondisi seperti ini masih terjadi kekurangan beras dan harganyapun meroket.
Dengan kebutuhan rata-rata perbulan 2,54ton beras maka diperlukan beras setahun 30,48 ton dan itu seharusnya sudah mencukupi antara kebutuhan dan ketersediaan dari hasil produksi.
Sementara Badan Pangan Nasional (Bapanas) menyatakan kebutuhan beras Indonesia pada 2024 mencapai 31,2 juta ton.
Sejarah perberasan di Negara kita tercinta ini menunjukkan pada masa orde baru pernah mencatatkan swasembada beras pada tahun 1984 ketika itu zaman Presiden  Soeharto. Capaian ini bahkan menginspirasi banyak negara, salah satunya India yang kini jadi pemasok beras dunia. Kemudian pada awal reformasi beras pada posisi harga kisaran Rp. 3000/per kg , pada 2014 awal pada kabinet kerja Rp.10.000/kg kemudian era kabinet Indonesia maju harga beras terus meroket hingga saat sekarang Rp.18.000/kg.
*Berbagai penyebab*
Banyak versi terkait kepada meningkatnya harga beras. Secara konsep bahwa harga ditentukan mekanisme pasar, permintaan dan penawaran. Ketika permintaan banyak dan pwnawarannya sedikit maka harga akan naik, demikian sebaliknya.
Sementara dari sisi perilaku pengusaha kelangkaan barang diduga ada yang melakukan penimbunan sehingga barang akan langka dan terjadi kenaikan harga.
Dari sisi pengamat harga beras bisa terjadi karena komponen biaya produksi yang mahal. Ada lagi yang menyebutkan turunnya produksi dan gagal panen karena berbagai hal seperti musim anomali, hama dan banjir.
Sementara ada yang mengkaitkan dangan tahun politik dalam rangka Pemilu beras dan sembako banyak digunakan untuk Bansos yang diberikan menjelang hari pencoblosan, sehingga menguras posisi stok. Bahkan ada yang menduga bahwa kelangkaan ini terjadi untuk alasan membuka peluang impor yang dilakukan oleh sekelompok tertentu.