Yogyakarta yang dahulu pernah menjadi ibukota negara Republik Indonesia pada dasarnya masih dikenal oleh masyarakat luas sebagai kota pendidikan atau kota pelajar. Banyaknya pemuda dari berbagai latar belakang daerah yang ada di Yogyakarta merupakan salah satu bukti bahwa Yogyakarta masih menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka sebagai tempat untuk menuntut ilmu. Hal tersebut juga tidak dapat dilepaskan dari kualitas pendidikan yang ditawarkan oleh lembaga-lembaga pendidikan yang ada di Yogyakarta, baik negeri ataupun swasta. Predikat sebagai kota budaya dan pariwisata yang melekat di Yogyakarta juga menjadi salah satu faktor pendorong banyaknya masyarakat dari luar daerah yang tertarik untuk menuntut ilmu di kota ini. Meskipun demikian, predikat kota pendidikan yang melekat di Yogyakarta bukan tanpa kecacatan. Banyak fenomena-fenomena sosial yang justru sebenarnya dapat merusak citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan. Tulisan ini selanjutnya akan membahas perkembangan Yogyakarta sebagai kota pendidikan hingga permasalahan sosial yang justru merusak citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan.
Menengok Asal Mula Predikat sebagai Kota Pendidikan
Predikat Yogyakarta sebagai kota pendidikan pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari munculnya salah satu universitas terkemuka di Indonesia yaitu Universitas Gadjah Mada (UGM). Konteks kemunculan UGM pun juga tidak dapat dilepaskan dari era penjajahan yang memaksa ibukota negara dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta pada tahun 1946. Secara singkat, UGM adalah gabungan dari beberapa sekolah tinggi dan universitas yang sebelumnya sudah ada di Yogyakarta dan sekitarnya. Apabila ditarik ke belakang, kemunculan beberapa sekolah tinggi yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya juga merupakan dampak dari tidak kondusifnya pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di beberapa daerah karena peperangan. Sebagai salah satu contohnya adalah sekolah tinggi teknik yang ada di Bandung harus ditutup dan dipindahkan ke Yogyakarta karena gejolak peperangan yang terjadi di Bandung pada saat itu. Ketika para cendekiawan berkumpul di Yogyakarta, mereka bersepakat untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi yang kemudian dikenal dengan nama Yayasan Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada (BPTGM). Langkah inipun disambut positif oleh raja Yogyakarta pada saat itu yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono IX (Sultan HB IX).
Munculnya perguruan tinggi tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran besar Sultan HB IX yang pada beberapa tahun setelah didirikannya UGM memberikan pusat kekuasaannya (keraton dan beberapa bangunan milik bangsawan) sebagai tempat perkuliahan. Bahkan, tidak adanya lahan yang dimiliki UGM membuat Sultan HB IX memberikan hibah tanah kepada UGM di daerah Sekip dan Bulaksumur yang saat ini menjadi lokasi UGM. Banyaknya para pemuda yang datang ke Yogyakarta dari berbagai daerah di Indonesia membuat Sultan HB IX mempersilakan pemerintah daerah asal pemuda tersebut untuk membangun asrama daerah di Yogyakarta. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila saat ini terdapat puluhan asrama daerah di Yogyakarta. Hal tersebut tidak lain dilakukan Sultan HB IX untuk mengakomodir keinginan beliau untuk menjadikan Yogyakarta sebagai Indonesia mini dimana seluruh adat dan agama dari berbagai daerah di Indonesia berkumpul di Yogyakarta. Kepedulian Sultan HB IX terhadap dunia pendidikan juga dibuktikan dengan didirikannya Universitas Widya Mataram pada tahun 1982 bersama putranya KGPH Mangkubumi.[1]
Kemunculan perguruan tinggi negeri pertama yang didirikan oleh pemerintah Republik Indonesia (Universitas Gadjah Mada) tersebut kemudian mendorong munculnya perguruan tinggi lain, baik negeri ataupun swasta. Berdasarkan data Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Daerah Istimewa Yogyakarta, di Yogyakarta terdapat 22 universitas, 49 sekolah tinggi, 6 institut, 10 politeknik, dan 42 akademi hingga saat ini.[2] Meskipun jumlahnya berkurang apabila dibandingkan dengan jumlah beberapa tahun sebelumnya, jumlah tersebut secara tidak langsung juga mendorong predikat Yogyakarta sebagai kota pendidikan disamping adanya faktor historis yang telah disampaikan sebelumnya. Selanjutnya, dari segi kualitas, beberapa perguruan tinggi tersebut telah membuktikan prestasinya melalui mahasiswanya, baik di tingkat nasional maupun internasional, termasuk sekolah menengah yang ada di Yogyakarta. Dari sisi peringkat perguruan tinggi, UGM selalu menempati posisi 5 besar nasional universitas terbaik dalam berbagai aspek penilaian.[3] Sementara dari perguruan tinggi swasta, berdasarkan penilaian webometrics, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Ahmad Dahlan (UAD), dan Universitas Islam Indonesia (UII) masuk dalam urutan 10 besar nasional.[4] Berdasarkan polling sederhana melalui website yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY, sebanyak 55.6% responden menyatakan kualitas pendidikan di Yogyakarta baik sekali, 30.9% menyatakan baik, 8.4% menyatakan cukup baik, dan 5.1% menyatakan kurang.[5]
Terlepas dari berbagai catatan peringkat perguruan tinggi terbaik dan jumlah perguruan tinggi di Yogyakarta sebagai bukti yang memperkuat predikat Yogyakarta sebagai kota pendidikan, ada beberapa permasalahan yang sebenarnya dapat merusak citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan. Permasalahan tersebut tidak lain merupakan dampak dari perkembangan Yogyakarta sendiri yang semakin berjalan ke arah modernisasi. Beberapa fenomena sosial yang justru tidak mencerminkan predikat sebagai kota pendidikan justru muncul di Yogyakarta seperti gaya hidup pelajar yang mewah dan bebas hingga perkelahian atau tawuran pelajar. Beberapa fenomena tersebut secara politis memang tidak terpublikasikan secara masif karena ditakutkan akan mencoreng citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan. Hanya saja, realita menunjukkan bahwa fenomena-fenomena yang menciderai semangat Yogyakarta sebagai kota pendidikan tersebut memang benar terjadi.
Gaya Hidup Mewah
Bagi sebagian besar pendatang yang menuntut ilmu di kota pendidikan ini, Yogyakarta adalah surga bagi mereka. Dengan harga yang relatif murah, mereka bisa menghabiskan pengeluaran untuk berbagai hal, termasuk mengubah gaya hidup. Seiring dengan perkembangan zaman, Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pendidikan yang sederhana ini berubah menjadi metropolitan ketika apartemen dan mall berkembang dengan pesat. Hal tersebut tidak lain adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Yogyakarta yang cenderung plural, terutama para pendatang. Bagi mereka yang memiliki finansial lebih, apartemen dan kos-kosan eksklusif menjadi tawaran yang cukup menarik untuk ditinggali selama menuntut ilmu di kota pendidikan. Tidak hanya itu, fasilitas berupa mobil mewah yang berasal dari luar daerah Yogyakarta juga telah memenuhi jalanan kota yang tidak lain adalah milik para pemuda yang sedang menuntut ilmu di Yogyakarta.
Pada dasarnya tidak ada yang salah dengan perkembangan tersebut. Hanya saja, citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan sedikit ternodai dengan perilaku mewah para pelajar yang justru tidak mencerminkan citra sebagai seorang yang berpendidikan. Terlebih lagi ketika mereka menjadi pelanggan setia tempat hiburan malam yang mayoritas diisi oleh anak-anak muda, baik oleh mereka yang berasal dari Yogyakarta ataupun luar Yogyakarta. Secara tidak langsung hal tersebut mendorong tumbuh suburnya tempat hiburan di Yogyakarta yang saat ini jumlahnya justru bertambah. Hal tersebut tidak lain karena pelajar yang ada di Yogyakarta dijadikan pasar bagi mereka yang berkepentingan. Meskipun fenomena ini tidak mempengaruhi citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan secara signifikan, realita ini telah membuktikan bahwa romantisme Yogyakarta sebagai kota pendidikan tidak selamanya benar. Terlebih lagi Yogyakarta juga dikenal sebagai kota budaya.
Pesta Minuman Keras dan Seks Bebas
Pesta minuman keras (miras) dan seks bebas adalah dua hal besar yang sebenarnya bukan menjadi rahasia lagi di kalangan pelajar di Yogyakarta. Belum lama ini berita nasional dihebohkan dengan kejadian pesta miras oplosan yang menewaskan belasan orang di Yogyakarta. Berita ini menjadi isu besar karena dalam waktu yang berdekatan, orang-orang yang meminum miras oplosan tersebut meninggal dunia. Beberapa fakta menarik yang bisa diambil dari kejadian ini adalah para korban meninggal yang meminum miras tersebut justru didominasi orang-orang muda yang notabene merupakan seorang pelajar. Bahkan, pesta miras tersebut dilakukan di asrama mahasiswa yaitu Asrama Pulodadi Babarsari dan Asrama Kamasan Yogya.[6] Realita yang menjadi berita nasional ini tentu menciderai Yogyakarta sebagai kota pendidikan. Terlebih lagi, korban yang meminum minumas keras tersebut adalah mahasiswa. Hal ini tentu sudah seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah dan masyarakat setempat untuk menjaga kondusifitas Yogyakarta sebagai kota pendidikan.