Awal tahun 2016 menjadi momen bersejarah bagi salah satu pewaris kerajaan besar Mataram Islam yaitu Puro Pakualaman. Semenjak Paku Alam IX meninggal dunia pada tahun 2015 silam, maka secara otomatis terjadi kekosongan kekuasaan di Puro Pakualaman. Hal tersebut juga secara otomatis mempengaruhi posisi jabatan wakil gubernur DIY yang ditinggal oleh Paku Alam IX. Dengan demikian, maka penentuan posisi raja baru di Puro Pakualaman menjadi salah satu hal yang paling penting untuk segera dilakukan.
Sebagaimana tradisi raja-raja sebelumnya dalam hal penentuan pewaris tahta, garis keturunan menjadi salah satu syarat untuk menentukan calon penerus tahta. KBPH Suryodilogo yang akan dinobatkan menjadi Paku Alam X merupakan putra pertama dari Paku Alam IX dengan ibunda bernama Koesoemarini. Berbagai persiapan telah dilakukan oleh pihak Puro Pakualaman sendiri untuk menyukseskan prosesi penobatan yang dilakukan tanggal 7 Januari 2015 dengan 2 acara besar yaitu Jumenengan Dalem dan Kirab (untuk memperkenalkan raja baru kepada masyarakat).
Pada sisi yang lain, prosesi penentuan calon pewaris tahta ataupun penentuan raja baru selalu menyisakan permasalahan keluarga yaitu terkait dengan siapa yang lebih berhak untuk duduk di kursi singgasana raja. Hampir dalam setiap prosesi pergantian tahta, konflik akan selalu muncul, baik dalam skala besar ataupun kecil. Hal tersebut bukan menjadi hal yang baru karena sejak zaman kerajaan Mataram Islam berdiri, konflik penentuan tahta kerajaan hampir selalu berujung dengan kekerasan.
Begitu juga yang terjadi dengan penentuan pewaris tahta di Puro Pakualaman. KGPAA Paku Alam IX Al Haj atau Gusti Anglingkusumo adalah pihak yang tidak mengakui KBPH Prabu Suryodilogo sebagai KGPAA Paku Alam X. Bahkan pihak Anglingkusumo sendiri telah mempersiapkan gugatan ke ranah hukum terhadap keabsahan Prabu Suryodilogo sebagai KGPAA Paku Alam X. Mereka menganggap bahwa Prabu Suryodilogo bukan pewaris tahta yang sah.
Bukan Urusan Publik
Konflik yang terjadi di Puro Pakualaman tersebut pada dasarnya bukan urusan publik, tetapi urusan internal keluarga. Oleh karena itu, penyelesaian masalah dengan cara musyawarah keluarga menjadi salah satu alternatif cara yang bisa ditempuh, meskipun juga tidak menutup kemungkinan dilakukan melalui jalur hukum.
Meskipun demikian, satu poin penting yang harus dipahami bahwa konflik tersebut jangan sampai mengganggu roda pemerintahan di Yogyakarta. Dengan dinobatkannya Prabu Suryodilogo sebagai KGPAA Paku Alam X, maka secara otomatis berdasarkan undang-undang keistimewaan, KGPAA Paku Alam X akan mengisi jabatan sebagai wakil gubernur DIY.
Apabila konflik internal di Puro Pakualaman tidak kunjung selesai, maka hal tersebut dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas politik di tingkat provinsi karena adanya kewajiban KGPAA Paku Alam X sebagai wakil gubernur. Hal tersebut tentu juga dikhawatirkan akan mengganggu pelayanan publik kepada masyarakat.
Terlepas dari permasalahan yang ada di internal Puro Pakualaman sendiri, masyarakat Yogyakarta pada dasarnya menyambut wakil pemimpin baru Yogyakarta tersebut yaitu KGPAA Paku Alam X. Terlebih lagi, publik juga akan disuguhkan dengan adanya sejarah besar di salah satu kerajaan pewaris tahta Mataram Islam di Yogyakarta yaitu penobatan dan kirab raja baru yang hanya dilakukan pada prosesi pergantian tahta kerajaan.
Masyarakat Yogyakarta tentu berharap KGPAA Paku Alam X sebagai penerus KGPAA Paku Alam IX, sekaligus wakil gubernur DIY telah siap mengemban tugasnya untuk menjadi abdi bagi masyarakat Yogyakarta. Meskipun hanya menduduki jabatan sebagai wakil gubernur, publik tentu berharap ada terobosan-terobosan baru yang diberikan KGPAA Paku Alam X dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H