Menghirup debu, Merasa dinginnya malam, kehujanan, dan harus merasakan panasnya terik matahari. akan tetapi dengan keras nya hidup yang harus mereka alami, mereka tidak pernah putus asa, atau menjadikan itu sebagai alasan untuk mereka menjadi seorang peminta minta.
Mereka terus berusaha untuk bertahan hidup, Ibu Nur mencoba untuk membuat sapu lidi, menjadi pembantu di warteg, dan menjadi pemulung. begitupun dengan Bapak Karma, ia tidak hanya berdiam saja, ia pun turut membantu sang isteri. pak Karma mencoba menjual bensin eceran di pinggiraan jalan.Â
Dari sekian banyak pekerjaan yang mereka kerjakan tidak banyak penghasilan yang mereka dapatkan. setiap hari ibu Nur hanya mendapatkan Rp.10.000 dari hasil membuat sapu dan mulung, dan mendapat 1 bungkus nasi dengan secangkir kopi setiap harinya dari pemilik warteg.
Sedangkan pak Karma, ia pun hanya mendapatkan Rp.25.000 perharinya, akan tetapi mereka tidak pernah mengeluh, Â mereka terus mengucap syukur untuk apa yang mereka dapatkan. Hidup yang keras, Penolakan dari keluarga, direndahkan oleh banyak orang, dan bahkan tidak diakui oleh anak kandung nya sendiri pun tidak membuat mereka berkecil hati atau marah dengan kondisi yang mereka alami.
"Saya tidak di terima oleh anak kandung saya" ucap bu Nur yang sambil meneteskan air matanya. jelas saja sungguh amat sakit rasanya jika tidak dianggap oleh anak kandung kita sendiri. "disini saya berusaha tegar, karena saya tahu, Allah tidak akan meninggalkan saya" ucap bu Nur.
Kisah Bapak Karma dan Ibu Nur ini dapat menjadi inspirasi bagi kita, bagaimana kita harus bisa belajar bersyukur dan sabar untuk setiap hal yang kita alami, baik Suka maupun duka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H