Mohon tunggu...
BASTIAN HIDAYAT
BASTIAN HIDAYAT Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Indonesia, tengah menimba ilmu di Malaysia. Penerima beasiswa Khazanah Asia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Saya Hanya Ingin Pulang...", Rusmiati - TKW di Malaysia

27 Oktober 2012   17:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:19 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore (27/10) waktu Malaysia. Hujan deras tengah mengguyur Cyberjaya, sebuah kota satelit 50 kilometer di selatan Kuala Lumpur. Sebagai kota yang diplot untuk menjadi Sillicon Valley-nya Malaysia, Cyberjaya terus menggeliat – sejak resmi dibuka oleh Perdana Menteri Mahathir Mei 1997 lalu. Dan seiring dengan geliat tersebut, tenaga kerja dari berbagai negarapun berdatangan ke tempat dimana perusahaan-perusahaan seperti Dell, HP, HSBC, Ericsson, Motorola, BMW hingga IBM beroperasi ini. Tak terkecuali tenaga kerja dengan kemampuan minim dari Indonesia, India, Bangladesh dan beberapa negara Asia lainnya yang mayoritas menjadi pekerja bangunan ataupun petugas kebersihan.

Rusmiati (42) adalah satu dari ribuan tenaga kerja itu. Lahir di Kebumen, namun lama menetap di Medan, cleaning service di salah satu perusahaan seluler ini baru setahun belakangan bekerja di Malaysia. “Disini dengan gaji RM 900 (Rp 2.700.000 – red) saja sudah bisa hidup, bisa mengirim uang bulanan juga ke kampung!”, akunya. Rus menambahkan, untuk tempat tinggal ia menumpang di kongsi – hunian sementara yang diperuntukan kepada para pekerja bangunan. “Sebenarnya kongsi ini untuk pekerja perusahaan-perusahaan tertentu saja. Tetapi karena gratis, banyak juga yang menumpang!”

[caption id="" align="aligncenter" width="432" caption="Suasana Kongsi"][/caption] Kongsi, seperti pengakuan Rus, adalah semacam kompleks bedeng untuk pekerja kontruksi. Berukuran 2 x 3 meter dengan dinding tripleks dan atap asbes. Lantainya sendiri papan kayu berlapis plastik. Maklum, kongsi-kongsi tadi kebanyakan dibangun di atas tanah yang rawan banjir, sehingga lantainya harus beberapa puluh centimeter lebih tinggi dari permukaan tanah. Kalau tidak, seperti sore tadi, aliran air coklat pekat memenuhi lorong-lorong tanah yang becek. Ember-ember plastik berjejer menampung air hujan, sementara sepatu boat, sekop, hingga cangkul berserakan.

Di tempat itulah Rusmiati tinggal. Sebulan lalu, ketika hujan datang, ia masih sempat mengangkat jemuran juga meletakkan ember ke pelimbahan. Namun, kini ia hanya bisa tergeletak di dalam biliknya yang sempit. Sudah tiga minggu Rus dirundung sakit. Kakinya perlahan membengkak. Diikuti dengan pembuncitan perut. Nafsu makannya hilang, lantas menurun drastis pula kekuatan tubuhnya. Dan sekarang, ia hanya bisa berbaring di di lantai kongsi yang lembab “Saya dikenai cuti, tidak boleh bekerja. (Jangankan untuk bekerja), untuk sekadar buang air saja saya kesulitan!” ujarnya, seraya menyebutkan diapers yang dipakainya. Ahh, alasan itu pula mungkin membuat pembaringannya begitu anyir.

[caption id="" align="aligncenter" width="432" caption="Rus terbaring di biliknya"][/caption] Rus divonis diabetes dan beri-beri oleh rumah sakit. Tetapi alasan biaya membuatnya tidak rawat inap. Terlebih, Rus – sebagaimana penuturannya, baru saja ditipu agen. Jadi, enam bulan setelah ia bekerja di negeri Jiran, ia diharuskan mengurus izin bekerja. Agen tadi menawarkan jasa pengurusan izin, dengan membayar biaya administrasi sebesar RM 1900. Tetapi sekian bulan berlalu, surat izin itu tak kunjung datang. Agennyapun menjadi sulit dihubungi. Uang hasil kerja kerasnyapun melayang! Jatuhlah ia tertimpa tangga.

Kalau hujan seperti ini, kaki saya rasanya berat sekali.” ucapnya lirih.

Saya ingin pulang, disini tidak ada yang mengurus. Saya nggak mau mati di tanah orang.” tambahya, sementara air mata melelehi wajahnya.

Sungguh, di tengah kondisinya yang sakit berat, Rus masih harus mengurus dirinya sendirian. Sesuatu yang mungkin tidak terjadi kalau ia bisa pulang, mengingat ia memiliki seorang anak gadis yang bisa mengurusnya. Sanak saudaranyapun mungkin bisa membantunya berobat.

Namun, sekali lagi, semuanya terbentur biaya. Tak adakah yang bisa kita – yang sehat walafiat ini – lakukan untuk membantu Rus pulang? Atau sekadar bisa mengirimnya ke rumah sakit terlebih dahulu untuk mendapatkan pertolongan?

Sekelompok mahasiswa Indonesia saat ini tengah mengupayakan pertolongan untuk Ibu Rus. Untuk keterangan lebih lanjut bisa menghubungi Siti Kholifatul Rizkiah (Mahasiswa Multimedia University, Cyberjaya) di 0172956613, atau menghubungi penulis di 0166909492 juga bisa via facebook di http://www.facebook.com/bastian.hidayat

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun