kekerasan pada anak. Baik itu berupa kekerasan fisik, psikis, penelantaran anak, eksploitasi anak, dan bahkan yang paling banyak adalah kekerasan seksual. Menurut DataIndonesia.id kasus kekerasan yang dilaporkan oleh Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) lebih dari 16.854 anak di Indonesia mengalami kekerasan pada tahun 2023. Jumlah tersebut terdiri dari 8.838 pada kasus kekerasan seksual, 4.025 kasus kekerasam fisik, 3.800 kasus kekerasan secara psikis, 955 kasus penelantaran anak, dan 226 kasus eksploitasi anak. Paling mirinya kebanyakan kasus kekerasan tersebut dilakukan oleh orang-orang terdekat seperti orang tua, keluarga dekat bahkan guru sebagai tenaga pendidik.
Setiap hari bahkan setiap detik laman berita tak berhenti mengabarkan tentang kasusKekerasan pada anak yang marak terjadi tidak hanya berkaitan dengan perlanggaran HAM saja, namun juga berkaitan dengan pelanggaran terhadap nilai-nilai dari prinsip bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Kekerasan pada anak terbukti melanggar sila ke-dua pada Pancasila yang berbunyi:"Kemanusiaan yang adil dan beradap". Yang dimaksudkan bahwa kekerasan pada anak merupakan suatu tindakan yang tidak memanusiakan manusia dan bukan suatu perilaku yang beradap. Selain itu, kekerasan pada anak juga melanggar sila ke-lima yang berbunyi: "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" yang berarti kekerasan kepada anak adalah suatu tindakan merampas keadilan sosial yang seharusnya dapat dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia bahkan hak tersebut juga harus didapatkan anak-anak.
Kekerasa pada anak dapat disebabkan oleh beberapa faktor sepertii faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal biasanya disebabkan oleh trauma atas kejadian kekerasan yang pernah dialami oleh pelaku yang tidak terselesiakan bahkan tidak mendapat penangan oleh psikolog yang membuat pelaku mengalami gangguan kesehatan mental. Selain itu ada faktor eksternal seperti ketidak siapan mental menjadi orang tua, terdesak faktor ekonomi, dan ketidak mampuan diri dalam menangani suatu masalah yang pada akhirnya membuat pelaku kekerasan melampiaskan kemarahnnya pada anak. selain itu untuk pelaku kekerasan seksual biasanya memiliki kelain seksual, dalam pengaruh obat-obatan ataupun minuman berakohol, dan faktor lingkuingan yaitu kurangnya edukasi seksual.
Kekerasan pada anak memiliki dampak yang tidak baik bagi kehidupan anak yaitu anak akan mengalami gangguan kontrol emosi yang tidak stabil, kehilangan rasa percaya diri dan sulit untuk bersosialisasi. Kekerasan pada anak juga meninggalkan luka fisik bahkan kecacatan permanen yang dapat mengganggu aktifitas anak ataupun membutuhkan alat bantu dalam melakukan aktifitas sehari-hari yang akan berdampak pula pada psikis anak yang mengalami kekerasan. Anak yang mengalami kekerasan biasnya juga akan mengalami penurunan fungsi otak dan perilaku menyimpang yang dihasilkan dari traumatis terhadap kekerasan yang ia terima. Oleh karena itu, diperlukan pendampingan secara khusus baik dari orang terdekat, penanganan psikiater, dan dukungan hukum yang kuat.
Tentu saja kekerasan pada anak tidak hanya meninggalakan bekas luka secara fisik melainkan juga meninggalkan rasa traumatis yang akan berdapak pada tumbuh kembang anak. hal tersebut akan mempengaruhi kualitas hidup anak, dan hilangnnya semangat hidup yang diakibatkan oleh trauma berat. Anak-anak yang menjadi korban kekerasan akan cenderung memiliki sifat-sifat yang seharunnya tidak  dimiliki oleh anak-anak seperti sifat permisif atau akan sangat terbuka dan mudah sekali mengizinkan orang lain untuk melakukan suatu tindakan yang sebenarnya tabu untuk dilakukan, sifat deprisif atau mudah kehilangan kegembiraan dan minat, sifat destruktif atau perilaku tanpa sadar yang dapat merusak kehidupan bersosial, sifat agresif atau mudah marah dan tidak dapat mengontrol emosi, dan berperilaku menyimpang seperti kelainan seksual. Kelima sifat tersebut akan mempengaruhi pola pikir dan perilaku anak, dan jika hal tersebut terjadi pada anak-anak di Indonesia maka akan sangat berdampak buruk bagi perkembangan generasi muda di Indonesia.
Oleh karena itu, penangan pada korban kekerasan harus dilakukan dengan hati-hati terlebih lagi korbannya adalah anak-anak. Penanganan yang pertama yaitu memberikan rasa aman pada anak dengan memberikan perhatian lebih, kasih sayang, dan tempat perlindungan aman. Selain itu memberikan fasilitas kesehatan pada psikologi maupun dokter anak untuk membantu perkembangan anak yang lebih baik lagi. Memberikan anak akses bersosialisasi tanpa membatasi agar anak tidak merasa kesepian dan terisolasi. Selain itu mengalihkan perhatian anak kepada kegiatan posistif seperti bermain, melukis, memasak, ataupun kegiatan yang disukai oleh anak. Hal yang paling penting adalah orang tua ataupun pendamping harus bisa memberikan dukungan smenagat kepada anak agar bisa bangkit dari rasa ketakutnya.
Selain berfokus pada penyembuhan luka fisik maupun psikis pada anak, proses penegakan hukum harus tetap berjalan dengan seadil-adilnya dan pelaku harus dihukum dengan seberat-beratnya. Hal tersebut berkaitan dengan Pasal 80 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang berisi: "Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) Tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah)." Dan pada pasal 80 ayat 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang berisi: "Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)." Dapat disimpulkan bahwa pada kedua pasal tersebut penganiyaan pada anak di bawah umur merupakan tindak pidana yang serius.
Tanggungjawab dalam memberikan perlindungan terhadap anak merupakan tanggungjawab bersama bagi setiap orang tanpa memandang anak tersebut merupakan anak kandung ataupun anak orang lain. Setiap orang memiliki kewajiban memberikan perlindungan kepada anak dari tindakan kekerasan baik itu fisik, psikis, kejahatan seksual, ataupun penelantaran terhadapa anak. hal tersebut sejalan dengan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak yang menyatakan bahwa: "Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua atau Wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak. dapat disimpulkan bahwa masyarakat memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap anak tanpa memandang bulu tentang siapa yang menjadi korban kekerasan tersebut."
Pelaku kekerasan pada anak tidak hanya dilakukan oleh orang tidak dikenal, melainkan orang terdekatpun dapat melakukannya. Oleh karena itu, perlu adanya kewaspadaan yang tidak hanya dilakukan oleh orang tua melainkan kepada lembaga pendidikan, dan lembaga pemerintah seperti lembaga pelindungan perempuan dan anak untuk memberikan sanksi yang berat untuk para pelaku kekerasan tersebut. Selain itu dapat memberikan pemahaman terhapa cara perlindungan diri, pelaporan dan pencegaahan terhadap kekerasan tersebut. Karena jika tidak dimulai dari kita, bagaimaan kekerasan pada anak akan berhenti? Oleh karena itu, dalam hal ini dibutuhkan kerja sama yang baik dari orang tua, masyarakat dan penegak hukum agar anak bangsa bisa hidup dengan nyaman dan damai di negara tercinta kita Indonesia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H