Maju tanpa Ragu.
Hari ini banyak sekali kaum difabel yang membutuhkan uluran tangan untuk digandeng menuju kemandirian baik secara pendapatan, ekonomi, maupun lapangan kerja. Dibutuhkan keseriusan semua pihak dalam menggandeng mereka agar bisa mandiri. setidaknya ada tripel helik yang dapat dilibatkan seperti kampus, dinas sosial, dan perusahaan. Semua mempunyai peran masing-masing yang saling terkait.
langkah integral dan kolaboratif tersebut, hanya dapat dilakukan manakala ada kesamaan persepsi dan tekad untuk sama-sama membantu mereka para difabel yang diyakini bersama sangat membutuhkan uluran tangan semua pihak. Mereka pada dasarnya ingin sejajar dengan kita yang normal dalam arti Inklusi, tetapi karena adanya keterbatasan pada aspekk tertentu, terkadang banyak tantangan dan rintangan yang harus dihadapi.Â
Technopreneurship menjadi solusi
Technopreneurship yang paling tepat untuk mereka adalah membuat suatu produk yang paling mudah dibuat, paling enak dirasakan, paling banyak digemari oleh para calon konsumen dan masing mudah menghasilkan keuntungan sebagai bekal kemandirian mereka. Meskipun mereka mempunyai keterbatasan,  namun dalam persaingan pasar, mereka harus bersaing dengan sehat terhadap yang multi abel (orang normal). Para konsumen tidak akan banyak mengetahui apakah produk  yang dikonsumsinya dihasilkan oleh orang yang normal atau difabel. Oleh karena itu, mereka harus dibekali dengan keterampilan yang tinggi yang mampu memproduksii dengan produk berkualitas tinggi, mempunyai daya saing, dan mampu memenangkan persaingan pasar.Â
Di sinilah kesulitan yang harus dihadapi oleh kaum difabel manakala harus bersaing secara sehat pada pasar bebas yang mempunyai tingkat persaingan tinggi. Pelatihan biasa tidaklah cukup, tetapi harus dibekali dengan berbagai strategi inovasi, pemasaran, dan kemampuan memanfaatkan teknologi dan informasi.Â
E-Commerce untuk Difabel
Difabel manakala harus besaing dengan kaum normal, hendaknya juga harus dilengkapi dengan keterampilan memanfaatkan platform digital, market place, dan sosial media yang sama. Mereka harus dilatih, diajari, dan didampingi secara telaten hingga mampu melakukan secara mandiri. Tanpa kesabaran yang tinggi, para kaum difabel akan tetap mengalami kesulitan, bahkan akan utus asa manakala tidak diimbangi dengan kesabaran yang tinggi dari pada pendampingnya.Â
Tidak semua jenis difabel dapat dilatih dengaan technopreneur yang mempunyai tingkat kesulitan tinggi. oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman dari para pendamping untuk menentukan, jenis keterampilan yang dapat diajarkan kepada mereka, sebelum menentukan jenis keterampilan yang akan diajarkan.Â
Sebagai penutup, semoga tulisan pendek ini dapat menginspirasii semua pihak dalam melakukan pendampingan technopreneur kepada para kaum difabel, dan semoga mereka dapat mandiri bagi secara lapangan pekerjaan maupun ekonomi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H