Delapan jam lamanya tiap hari. Kau berdiri, menulis dan berbicara. Â Dulu kau tak perlu membawa bekal makan siang. Debu kapur sudah cukup mengenyangkan bagimu
Di masyarakat kau disegani. Jalan setapak desa adalah karpet merahmu. Â Dari kejauhan saja aku sudah mengenalmu. Ku sapa sambil menunduk, menatap matamu pun aku segan
Pernah kuterima rotan darimu. Membekas dibetisku sebelah kiri. Â Bapakku malah menambahi di sebelah kanan. Kira-kira seminggu lamanya membiru tapi hinggankini membekas diingatan
Tak ada dendam sama sekali di hatiku. Sbab kau menuntutku untuk pintar. Ku akui segenap hati. Bentukan tanganmu menjadikanku periuk yang mahal
Berjalannya waktu karpet merahmu jadi bolong. Tak ada lagi yang memperhatikan jalanmu. Tuntutanmu pun bukan lagi kepintaran. Seragam pengakuan dan uang untuk membeli bekal siang nanti, itulah tuntutanmu sekarang
Kalau niat tulus tidak ada lagi. Sebaiknya kau pergi. Biarlah meja menggantikan delapan jammu. Berdiri menemani papan tulis, ia juga tak kan menentut ku untuk pintar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H