Mohon tunggu...
Basril Tarigan
Basril Tarigan Mohon Tunggu... Tutor - Simple writer, big dreams.

Simple writer, big dreams.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Tuntutan Delapan Jam Berdiri

2 Mei 2019   23:06 Diperbarui: 2 Mei 2019   23:37 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - invaluable.com

Delapan jam lamanya tiap hari. Kau berdiri, menulis dan berbicara.  Dulu kau tak perlu membawa bekal makan siang. Debu kapur sudah cukup mengenyangkan bagimu

Di masyarakat kau disegani. Jalan setapak desa adalah karpet merahmu.  Dari kejauhan saja aku sudah mengenalmu. Ku sapa sambil menunduk, menatap matamu pun aku segan

Pernah kuterima rotan darimu. Membekas dibetisku sebelah kiri.  Bapakku malah menambahi di sebelah kanan. Kira-kira seminggu lamanya membiru tapi hinggankini membekas diingatan

Tak ada dendam sama sekali di hatiku. Sbab kau menuntutku untuk pintar. Ku akui segenap hati. Bentukan tanganmu menjadikanku periuk yang mahal

Berjalannya waktu karpet merahmu jadi bolong. Tak ada lagi yang memperhatikan jalanmu. Tuntutanmu pun bukan lagi kepintaran. Seragam pengakuan dan uang untuk membeli bekal siang nanti, itulah tuntutanmu sekarang

Kalau niat tulus tidak ada lagi. Sebaiknya kau pergi. Biarlah meja menggantikan delapan jammu. Berdiri menemani papan tulis, ia juga tak kan menentut ku untuk pintar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun