Mohon tunggu...
Sofyan Basri
Sofyan Basri Mohon Tunggu... Jurnalis - Anak Manusia

Menilai dengan normatif

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Negara dan Tafsir Hukum

16 April 2022   12:05 Diperbarui: 16 April 2022   12:11 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiga tahun yang lalu. Seorang teman-- perempuan, pernah bercerita. Dirinya dijambret. Di pinggir jalan. Di pintu masuk Kampus UNM-- Jl. AP Pettarani. Handphone jenis Iphone di rampas. Dia tidak bisa berbuat banyak. Di lehernya parang terhunus.

Jika melawan atau berteriak. Hampir dipastikan akan terluka. Itu jika nyawa tidak melayang. Lagian saat itu sedang sepi. Dia sedang menunggu pete-pete-- angkot. Mau pulang ke rumah. Di sekitar Daya. Untungnya, hanya handphone yang diambil. Di dalam tasnya, ada laptop.

Sang penjabret beraksi cepat. Barangkali juga takut. Jika ketangkap akan dimassa. Nyawa taruhan. Sungguh sulit menahan orang marah. Apalagi kepada orang seperti mereka. Maka teman ini hanya terdiam. Cukup lama, ia berdiri. Sambil menangis. Hingga datang satpam.

Sejak saat itu. Teman ini parno. Takut sendirian dijalanan. Merepotkan banyak orang. Termasuk orang tuanya. Akan merasa lebih nyaman. Dan terlindungi jika berada di dekat Bapaknya. Jika mau pergi. Minta diantar. Jika mau pulang. Minta dijemput. Semua serba repot. Terbawa hingga sekarang.

Masih soal kejahatan jalanan. Datang dari Lombok. Seorang laki-laki bernama Amaq Sinta. Dia dibegal. Oleh empat orang sekaligus. Cerita itu bermula. Ketika dirinya hendak mengantar makanan. Kepada Ibunya. Di tengah perjalanan. Amaq dihadang.

Duel maut tidak terhindarkan. Amaq sempat meminta tolong. Tapi disitu sepi. Tidak ada orang datang. Maka keberanian dihadirkan kedirinya-- sendiri. Lagian tidak ada jalan lain. Duel pun terjadi. Dua dari empat tersungkur. Mengeluarkan darah.

Amaq juga terluka. Untungnya tidak parah. Masih bisa berkendara. Dua pembegal lain kabur. Melihat kawan kejahatannya tidak berdiri. Amaq lalu pergi ke rumah keluarga. Untuk menenangkan diri. Lagian, peristiwa barusan. Barangkali tidak pernah terbayangkan. Bahkan seumur hidupnya.

Karena ada dua korban meninggal. Penyelidikan dilakukan. Dan Amaq tertuduh sebagai pelaku pembunuhan. Awalnya jadi saksi. Tapi kemudian jadi tersangka. Lalu di tahan. Kasus ini pun meledak. Banyak warga yang protes. Amaq akhirnya diberikan penangguhan penahanan.

Di tempat lain. Di KM 50-- Tol Jakarta-Cikampek. Enam orang tewas. Diduga terjadi pembunuhan. Pelakunya adalah anggota kepolisian. Tapi kemudian divonis bebas. Oleh pengadilan dengan dalih terpaksa. Kedua penembak itu terpaksa menembak untuk membela diri.

Sementara sejumlah orang menilai. Jika peristiwa KM 50 adalah extrajudicial killing-- pembunuhan di luar putusan hukum. Itu seperti penilaian Amnesti Internasional Indonesia. Menurut lembaga internasional itu. Polisi tidak berhak menjadi hakim. Untuk mengambil nyawa seseorang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun