Mohon tunggu...
Sofyan Basri
Sofyan Basri Mohon Tunggu... Jurnalis - Anak Manusia

Menilai dengan normatif

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Yang Tersisa dari Pengeroyokan Ade Armando

13 April 2022   20:23 Diperbarui: 13 April 2022   20:26 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ade Armando babak belur. (Antara Foto/ Galih Pradipta)-cnnindonesia.com

Kedua, kasus Ade juga mesti ada kejelasan. Apalagi statusnya masih tersangka. Kupikir ini perlu diperiksa lagi. Tapi jika memang itu benar. Maka harus ada penjelasan. Kenapa kasus itu berlarut-larut. Bahkan pernah kasus ini di SP3. Tapi kemudian dibatalkan. Karena dipraperadilankan.

Dari sini, tentu sudah ada rasa curiga. Barangkali ada udang dibalik bikandoang. Tawaran untuk tidak curiga. Rasa-rasanya sulit. Lagian jika praperadilan itu membatalkan SP3. Maka barangkali ada prosedural hukum yang terlewat. Atau mungkin sengaja dilewatkan. Publik tentu akan bertanya. Karena mau tahu.

Rasa adil harus dan wajib hadir. Tidak boleh ditawar-tawar lagi. Saya kira Pak Kapolri tahu itu. Beliau tidak mungkin senang-senang saja. Jika bawahannya bermasalah. Maka prosedural harus jalan. Sesuai harapan rakyat. Harapan konstitusi. Bahwa semua warga negara. Sama di mata hukum.

Adil bukan berarti harus memaksa bukan. Maka jika Ade tidak layak. Maka mesti disampaikan. Apa runutannya sehingga Ade tidak layak. Saya kira itu pointnya.

Begitu juga dengan kasus lain. Seperti kasus Denny Siregar (Desi), misalnya. Atau Abu Janda (Abja). Apalagi tekanan publik. Baik Desi maupun Abja serumpun. Dan barangkali, bisa dikata sama-sama licin. Sebab ada beberapa laporan masuk ke kepolisian. Tapi seperti tidak jalan.

Berbicara soal kekerasan. Tidak hanya pada fisik. Bahkan secara verbal pun ada. Saya kira baik Desi maupun Abja. Hampir sama. Atau mirip-mirip. Keduanya seringkali tak ikut arus. Untuk keduanya, bagi saya. Tidak soal. Tapi sebagian orang-- kurang literasi dan masyarakat awam. Adalah lawan-- mungkin.

Khusus untuk Desi. Dia seperti menggunakan logika ganda. Menolak kekerasan terhadap Ade. Tapi disisi lain. Desi seperti tidak peduli-- mengirim bunga duka kepada korban KM50. "BEBAS! Terima Kasih Sudah Kirimkan Laskar FPI Ketemu Bidadari". Diposisi ini. Saya melawan Desi. Itu tidak layak. Tidak bermoral.

Belum lagi tulisannya soal calon teroris. Kepada anak-anak santri di Tasikmalaya. Dan seluruh kontroversi lainnya. Ini sungguh rumit. Bagi kepolisian. Apalagi, ketiganya diduga sebagai buzzer. Yang lebih condong ke pemerintah. Untuk hal ini, saya diposisi tidak mempersoalkan. Tapi jika hanya memecah belah. Itu lain.

Kang Hasan dalam sebuah tulisan di facebook. Cukup gamblang mengurai. Terutama soal posisi bapak polisi. Menurutnya, ada satu problem pada tatanan hukum. Yakni pada posisi aparat hukum. Tidak bisa memilah antara ranah perbedaan pendapat, fitnah dan penghinaan.

Kata Kang Hasan, berpendapat bisa dituduh menghina. Atau memfitnah. Sebaliknya, memfitnah atau menghina bisa berlindung dibalik kebebasan berpendapat. Keterangan Kang Hasan ini mengarah kepada subjek. Atau orangnya.

Jika orang dengan kedudukan tinggi. Atau didukung banyak orang. Maka cenderung tidak tersentuh hukum. Tapi jika orang itu masyarakat kecil. Maka akan lebih rentan terkena tindakan hukum. Meski yang dilakukannya cukup sepele. Dan ya, nomenanya sudah demikan adanya-- kini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun