Akhir-akhir ini, kita teramat mudah dikuasai oleh diri sendiri. Kita seakan layu dalam tataran yang cukup mencengangkan atas kerumitan yang kita ciptakan sendiri. Hingga menjadi sebuah mata rantai yang terangkai dalam sebuah penyebutan fanatisme.
Yah, dengan alasan dalam satu kata dengan sembilan huruf itu menjadikan kita semakin beringas dalam melemahkan kecerdasan dan menguatkan kedunguan. Menjadikan manusia lain yang berbeda pandangan sebagai silangan. Mengedepankan perbedaan sebagai jurang yang amat dalam untuk mengkerdilakan pandangan atas pemikiran orang sekitaran.
"Akulah yang benar dan kamulah yang salah" adalah narasi yang tiap hari menjadikan kita sebagai manusia buta. Padahal, hanya dengan kesadaran dan kecerdasan manusia akan saling melindungi untuk mendapatkan keadilan dalam kemanusiaan. Namun, nyatanya akhir-akhir ini, hal ini tidaklah terbukti adanya.
Lihatlah betapa banyak dari kita yang memiliki tambahan nama di depan dan di belakang nama mereka tapi tidak mencerminkan sikap yang seharusnya. Kita terlalu naif untuk menyadari keadaan secara sempurna untuk menerima kelebihan orang lain dan kekurangan diri sendiri. Kita terlalu mudah dikelola oleh kepentingan. Atau bahkan karena kemauan diri sendiri. Miris.
Kita terlalu gagap dan terlalu tegang akhir-akhir ini. Buku kiri dirazia, pengaturan skor pertandingan olahraga, narasi pengembalian dwi fungsi TNI, agama monas, doa yang ditukar, saling serangnya melalui perantara puisi, hukum dipermainkan, dan sejumlah tikai yang lain. Inikah yang kita sedang perjuangkan dalam demokrasi?.
Apakah harus kita berteriak untuk mengatakan "kita berbeda"?. Sedang dilain pihak, itu bisa menandakan bahwa kita sedang melawan takdir yang telah menuntun kita sedari dulu dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Bukankah, sesuatu yang sedari dulu berbeda sudah tidak perlu lagi dibandingkan. Apalagi diteriakkan.
Lalu kenapa? Kenapa mesti ada narasi "aku kampret dan kau cebong" atau "aku islam dan kau kristen" atau "aku bugis dan kau jawa" atau "aku Sulawesi dan kau Papua"?. Bagaimana mungkin dengan alasan-alasan itu, kita membungkam getaran jiwa dan debaran di dalam dada ketika Indonesia Raya berkumandang.
Kita ini terlalu dibuat melayang oleh konsep kesetaraan, keadilan dan persatuan untuk kemudian mengkambinghitamkan eksistensi hak pada setiap manusia Indonesia. Dimana itu semboyan "Saya Indonesia, Saya Pancasila"?. Aku ingin mendengarnya. Bukan, aku ingin pengaplikasiannya.
Seharusnya, ketidaktahuan menyadarkan kita tentang pengetahuan dan pengetahuan yang mengajarkan kita tentang ketidaktahuan. Untuk itu, kita tidak boleh dengan semena-mena menjustifikasi sepihak. Semisal "kau kampret" karena mengkritik pemerintah dan "kau cebong" karena mendukung pemerintah.
Ayolah, jangan kalah dari facebook "apa yang anda pikirkan?". Bukankah kita ini adalah binatang yang berpikir, kata Tan Malaka. Untuk itu, jika kita ini tidak berpikir maka ada kemungkinan kita ini adalah binatang. Jika tidak ingin dikatakan demikian, maka berpikirlah!. Karena metode belajar terbaik adalah berpikir. Salam cinta, aku mencintaimu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H