Mohon tunggu...
Sofyan Basri
Sofyan Basri Mohon Tunggu... Jurnalis - Anak Manusia

Menilai dengan normatif

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebencian

24 Juli 2018   21:51 Diperbarui: 24 Juli 2018   21:53 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Aku tidak pernah merasa paling benar. Sebab saya hidup bukan untuk menjadi benar. Tapi untuk menjadi diri sendiri yang mengakui adanya kebenaran kemudian membentangkannya. Juga mengakui adanya kesalahan dan memotongnya agar tidak melebar hingga menjadi benar.

Aku juga tidak pernah merasa paling berilmu. Sebab ilmu yang didapatkan kemarin dan hari ini hanya akan menjadikan diri sendiri menyadari bahwa yang diketahui belum seberapa. Itu kemudian menumbuhkan kesadaran untuk terus mencari dan menunduk seperti padi pada hamparan sawah yang menguning.

Lalu aku hanya ingin merasa paling rendah diantara yang paling rendah. Kalau perlu aku ingin menjadi hina atau paling hina diantaranya yang hina. Sebab aku tahu, dari sanalah ditempat yang rendah itu aku akan mendaki untuk mencapai keinginan yang aku inginkan. Dan dari hina itulah aku akan belajar bagaimana menghargai tanpa pernah mau dihargai. "Hanya di dalam kegelapan, kamu dapat melihat bintang-bintang" Martin Luther King.

Kebencian hanya akan menumbuhkan kemunafikan. Kemunafikan hanya akan melahirkan kemudaratan. Dan kemudaratan hanya akan dipenuhi ketidakpercayaan dan ketidakjujuran. Lalu semua hanya akan menjadi kamu dan aku, tidak akan pernah kamu dan aku menjadi kita, hingga menjadi mereka atau kalian. Hanya itu, tidak lebih. "Kebencian adalah seperti meminum racun dan berharap musuhmu yang terbunuh" Nelson Mandela.

Apa aku membenci? Iya tentu saja aku membenci. Membenci manusia yang mengatakan api itu dingin, kemudian menyalakannya untuk membakar orang lain hingga menjadi abu. Juga aku membenci manusia yang mengatakan air itu panas kemudian menyiramkannya kepada orang yang sedang mengalami hipotermia hebat.

Kalau dipikir-pikir kebencian itu memang harus ada. Sebab kebencian hadir untuk menjadi bahan refleksi diri. Bukan malah menjadi bahan olahan untuk menutup mata sebelah, lalu mengaku melihat secara sempurna. Bukan juga untuk dijadikan senjata dalam mengolah data untuk menjadikan kepentingan perorangan, kelompok dan golongan.

Dengan begitu saya, anda, mereka, kalian akan bersama dalam perbedaan, menyatu dalam kepekaan, untuk hidup dalam kebahagiaan. Bukankah itulah nikmatnya kehidupan? Dimana agama, warna kulit, suku, daerah, ras, budaya bersatu dalam cinta yang bernama Indonesia. "Aku akan memuji apa yang baik, tak pandang sesuatu itu datangnya dari seorang komunis, islam, atau seorang Hopi Indian" Bung Karno.

Untuk apa kita menjadi manusia pembenci, yang hanya mencari kesalahan manusia lain tanpa pernah mau memandang diri. Itu hanya akan merusak otak dan hati. Membuatnya membusuk dalam kegelapan diri. Hingga pada akhirnya, akan menjadi duri untuk diri sendiri. Bahkan, menjadikan diri sebagai manusia yang bertangan belati dan tidak sejati.

Tapi kenapa juga selalu ada pembenci? Kupikir ini karena banyak orang yang tidak tahu diri sendiri. Tentu ini sangat berkaitan dengan sebuah kalimat kuno yang sangat filosofis yang diungkapkan oleh seorang filsuf Prancis bernama Descartes yakni "Aku Berpikir Maka Aku Ada". Atau seperti dalam lirik lagu Band Radja yakni "Aku Ada Karena Kau Ada".

Itu berarti pembenci ada karena ada yang menginginkannya. Dan siapa yang menginginkannya? Silahkan para pembaca memberikan jawaban. Sebab jawaban atas pertanyaan itu bisa jadi refleksi diri kita semua yang memiliki kemampuan untuk membenci seseorang. Entah karena kemauan diri kita atau karena kemauan orang diluar dari diri kita. Sekian. Terima Kasih. #AKUMENCINTAIMU

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun