Mohon tunggu...
Sofyan Basri
Sofyan Basri Mohon Tunggu... Jurnalis - Anak Manusia

Menilai dengan normatif

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Setahun Mencari Keadilan untuk Novel Baswedan

10 April 2018   21:15 Diperbarui: 12 April 2018   17:03 3454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi yang cukup dingin ditanggal 11 April 2017, saya membaca berita yang sangat hoboh dan gempar. Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan disiram air keras oleh orang tak dikenal usai melaksanakan sholat subuh di masjid Al Ikhsan, Kelapa Gading, Jakarta Utara

Dugaan sementara, dua orang pelaku yang sedang berboncengan menggunakan sepeda motor jenis matic. Usai melakukan aksinya, meraka pun langsung kabur. Dan hingga kini tidak tahu rimbanya. Sementara Novel yang mulai kesakitan menuju mesji untuk mencari bantuan dan air.

Sekitar pukul 05.30 WIB, Novel diantar menuju rumah sakit Mitra Keluarga, Kelapa Gading. Dari rumah sakit Mitra Keluarga, Novel kemudian dipindahkan ke Rumah Sakit Jakarta Eye Centre, Menteng, Jakarta pada hari yang sama. Dan pada akhirnya melakukan operasi mata di Singapura.

Kini, penyiraman air keras terhadap Novel sudah memasuki satu tahun. Akan tetapi, pengungkapan kasus tersebut masih jalan ditempat dan sangat jauh dari harapan. Kasus yang menimpa Novel adalah sebuah pelanggaran hukum yang sangat jelas dan berat.

Tapi sayang, negara seperti abai, acuh dan terkesan tidak serius dalam mengungkap kasus tersebut. Padahal negara ini mengaku sebagai negara hukum. Kupikir ini sangat jelas dalam pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Olehnya itu, pemerintah dan negara semestinya hadir untuk menegakkan hukum sesuai dengan yang tertuang dalam konstitusi.

Apalagi dalam UUD 1945 dalam pasal 28D ayat 1 menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dengan demikian, negara tidak boleh lalai dalam proses penegakan hukum.

Meski memang hingga kini Polri terus melakukan penyelidikan atas kasus tersebut. Tapi tak sedikit yang mencibir jika pengutusan kasus Novel itu tak serius dilakukan. Dalam perjalanannya, kasus Novel terus diseriusi untuk dilakukan penyelidikan, namun disisi yang seperti menimbulkan beberapa kejanggalan.

Pertama, tidak ditemukan sidik jari. Dari TKP, ada barang bukti cangkir kaleng blirik hijau yang digunakan pelaku. Polisi menyatakan tak ada sidik jari yang ditemukan digagang cangkir, karena bentuknya kecil. Alasan ini cukup aneh sebab cangkir tersebut tentu digunakan pelaku untuk melakukan aksinya.

Kedua, rekaman kamera CCTV. Jika berkaca pada beberapa kasus yang diungkap oleh pihak Polri, CCTV kadang menjadi bukti kunci dalam pengungkapan yang kemudian dilakukan publikasi. Akan tetapi, CCTV yang diduga merekam kasus Novel hanya disimpan dan tidak dipublis.

Ketiga, menangkap lalu melepas terduga pelaku. Pada tanggal 10 Maret 2017, Polri kemudian menangkap terduga pelaku dengan inisial AL dan tiga lainnya. Namun, keempatnya dibebaskan oleh Polri karena dianggap tidak cukup bukti yang kuat untuk menjeratnya.

Keempat, inkonsistensi pernyataan Polri. Inkonsistensi dan perbedaan pandangan kasus Novel terjadi antara Mabes Polri dan Polda Metro Jaya. Mabes Polri, pernah menyebutkan telah mengetahui pelaku dan menangkapnya. Sedangkan Polda Metro Jaya meralat keterangan Mabes Polri dengan menyatakan yang ditangkap bukan pelaku. (Tempo, 3 Juni 2017).

(sumber: beritagar.id)
(sumber: beritagar.id)
Kejanggalan lain tak berhenti sampai disitu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto meminta agar pemerintah tidak didesak soal pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pada kasus Novel. Sekilas, tentu ini bisa jadi bukti keabaian pemerintah atas kasus Novel.

Saya secara pribadi berpandangan, TGPF adalah sebuah bentuk tanggung jawab pemerintah dalam menjamin hak asasi warganya. Sebab jika tidak dilakukan, maka bagi saya ini adalah sebuah luka hukum di negeri yang katanya menjadikan hukum sebagai panglima tertinggi.

Jangan sampai luka lama penegakan hukum seperti kasus Munir kembali terulang dengan kasus Novel. Kupikir ini  bukan untuk menakut-nakuti pihak manapun. Akan tetapi, ini hanya sekedar peringatan untuk kita semua. Terutama kepada pemerintah dalam hal ini para pegak hukum.

Jangan sampai penegakan hukum di negara ini amburadul seperti kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Mahfud MD yang mengatakan dalam cuitannya di twitter beberapa waktu lalu.

"Sudah berkali-kali saya katakan bahwa adagium penegakan hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas itu adalah adagium yang salah. Yamg benar tumpul ke atas dan tumpul ke bawah. Yang di atas enak karena menyuap, yang di bawah terkena karena tak mampu menyuap"

Untuk itu, pemerintah dan Presiden Joko Widodo mesti serius menangani hal ini. Jangan sampai proses hukum yang berlarut dan tanpa ada proses penyelesaian membuat publik mengambil kesimpulan secara sepihak. Seperti kalimat "atau jangan-jangan, atau jangan-jangan".

Tentu kesimpulan sepihak oleh publik tidak bisa dibiarkan begitu saja. Apalagi, Presiden Joko Widodo tentu sedang dalam persiapan menuju Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mendatang. Semua sudah tentu tahu, jika politik akan mampu merangsek masuk pada apa saja, termasuk memainkan isu hukum untuk kepentingan politis.

Dan kupikir TGPF bisa jadi merupakan alternatif gerakan nyata Presiden Jokowi. Apalagi, gelombang desakan untuk dibentuknya TPGF tersebut terus didengungkan. Terbaru, desakan itu datang dari Amnesty Internasional Indonesia. Meski memang, ada beberapa yang meragukan TGPF tersebut seperti Indonesia Corruption Watch (ICW).

Terkhusus untuk Polri, pengusutan kasus harus dipercepat untuk diselesaikan. Sebab hal ini akan berpengaruh terhadap kredibilitas Polri, terutama dalam hal kepercayaan publik. Pasalnya, muncul dugaan jika dalang dari kasus Novel tersebut dari internal Polri sendiri.

Meski memang hingga kini, keterlibatan petinggi Polri itu belum terbukti. Akan tetapi rumor tidak bisa dibantah dengan rumor tapi harus dan wajib dibantah dengan data dan fakta hasil penyelidikan dan pengungkapan dengan menyeret para pelaku hingga ke meja hijau.

Dan untuk Bang Novel, maju terus berantas para manusia tak bermoral yang mencuri uang rakyat yang disebut koruptor. Saya Sofyan selalu bersama Abang. Sehat dan sukses selal untuk Abang. Dan semoga lekas sembuh dan kembali bekerja. Biarlah mata Abang menjadi saksi bisu bagi kami rakyat yang Abang perjuangkan.

"Tapi sebelah mataku, yang lain menyadari. Bahwa gelap adalah teman setia dari waktu-waktu yang hilang. Dan sebelah mataku yang lain mengawasi korupsi masih merajalela. Kuinginkan mereka hilang". #akumencintaimu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun