Mohon tunggu...
Sofyan Basri
Sofyan Basri Mohon Tunggu... Jurnalis - Anak Manusia

Menilai dengan normatif

Selanjutnya

Tutup

Politik

Permintaan Aneh Jaksa Agung dan Kapolri

29 Maret 2018   20:36 Diperbarui: 29 Maret 2018   20:45 945
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus melakukan pemantauan terhadap calon kepala daerah yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi. Saya kira apa yang dilakukan KPK tersebut adalah sebuah kewajiban dan keharusan yang telah dilindungi dalam konstitusi.

Kupikir langkah KPK dalam melakukan warning kepada sejumlah calon kepala daerah yang akan maju pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2018 adalah hal yang lumrah. Sebab tentu masyarakat tidak ingin kecolongan oleh calon kepala daerah yang korupsi.

Oleh karena itu, sikap tegas KPK yang telah memberikan peringatan kepada calon kepala daerah, terutama yang berstatus incumbent beberapa waktu lalau adalah bentuk shock therapy. Meski memang langkah yang diambil KPK tersebut sedikit nyeleneh sebab disampaikan ketika proses Pilkada berlangsung.

Entah hal itu disengaja atau tidak, yang pasti keputusan yang diambil KPK tersebut sangat menarik perhatian publik. Dalam proses perjalanannya, KPK kemudian membuktikan jika pihaknya tidak melakukan ancaman semata. Sebab dalam beberapa waktu KPK kemudian melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT).

Salah satu diantaranya adalah OTT terhadap bakal calon gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Asrun pada tanggal 28 Februari lalu. Bahkan, Asrun tidak sendirian, akan tetapi sedang bersama anak kandunya sendiri. Tak berhenti sampai disitu saja, ada nama lain seperti calon gubernur Lampung Mustafa.

Nama-nama lain adalah calon gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Marianus Sae, calon Bupati Jombang Nyono Suharli, calon Bupati Subang Imas Aryumningsih. OTT KPK tersebut tentu membuat goncangan tersendiri bagi partai politik yang mengusung calon kepala daerah.

Apalagi, bukan hanya calon kepala daerah yang akan terseret. Akan tetapi, partai politik pengusung maupun partai politik tempat calon kepala daerah itu berproses politik juga akan kena imbas. Bagi saya, imbas terhadap partai politik itu adalah bagian dari resiko yang tidak melakukan kaderisasi secara baik dan benar.

Partai politik merupakan indikator penting tegaknya sistem demokrasi yang negara ini telah pilih. Olehnya itu, setidaknya partai politik mesti melakukan introspeksi secara internal jika ada kadernya yang terlibat korupsi terutama kader yang berposisi sebagai kepala daerah.

Oleh karena itu, KPK dalam melaksanakan kegiatan tidak boleh dilakukan intervensi oleh pihak manapun. Apalagi dalam pasal 3 Undang-Undang (UU) KPK "Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun".

Dengan demikian, agak aneh rasanya ketika ketika partai politik melakukan manuver politik untuk melakukan tekanan terhadap KPK. Apalagi menggunakan afiliasi lembaga penegak hukum semacam Kejaksaan Agung atau Polisi Republik Indonesia (Polri).

Sehingga dengan adanya pernyataan Kejagung dan Kapolri yang meminta penundaan proses hukum terhadap calon kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi sampai pelaksanaan Pilkada serentak 2018 selesai adalah sikap yang cukup menggelitik. Sebab hal itu membuat kedua lembaga itu seperti tidak tahu, mana proses politik dan proses hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun