Entah apa yang sedang dipikirkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo sehingga mengusulkan dua Jenderal dari Polri untuk menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak jilid tiga mendatang.
Dua polisi berpangkat dua bintang itu adalah Asisten Operasi Kapolri Irjen Mochamad Iriawan yang disiapkan menggantikan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dan Kadiv Propam Polri Irjen Martuani Sormin disiapkan menggantikan Gubernur Sumatera Utara Tengku Erry Nuradi.
Sekilas, pengusulan tersebut tidaklah aneh karena dilakukan oleh Mendagri. Akan tetapi, penunjukan dua perwira Polri tersebut seperti ada udang dibalik bikandoang alias ada apa-apanya. Sehinga wajar ketika kebijakan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tersebut banjir kritikan.
Tak terkecuali dari Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI yakni Fahri Hamzah dan sejumlah penyambung lidah rakyat lainnya di Senayan. Tak hanya itu, kritikan juga datang dari berbagai akademisi seperti Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Mustafa Fakhri.
Menurut Mustafa wacana Mendagri untuk menunjuk perwira tinggi Polri yang masih aktif sebagai penjabat Gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara merupakan wacana yang tidak berdasarkan hukum yang justru telah mencederai semangat reformasi.
Bahkan Mustafa menegaskan amanah reformasi menyatakan diantaranya untuk menghapuskan dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan catatan Polri yang sebelumnya masih tergabung dalam ABRI kemudian dipisahkan menjadi TNI dan Polri. (CNN, Sabtu, 27/01/2018)
Penghapusan tersebut bertujuan untuk memastikan netralitas TNI sebagai pemegang kuasa konstitusional yang menjaga pertahanan negara, tapi juga netralitas Polri yang bertanggungjawab terhadap keamanan negara. Oleh karena itu, wajar saja ketika kebijakan Mendagri tersebut dikaitkan dengan isu politik.
Apalagi, kebijakan tersebut juga secara tidak langsung juga bertentangan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 74 Tahun 2016 ayng ditandatangani sendiri oleh Tjahjo Kumolo. Hal ini jelas dalam pasal 4 ayat 2 "(2) Pelaksana Tugas Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya Kementerian Dalam Negeri atau Pemerintah Daerah Provinsi".
Sangat jelas dalam aturan tersebut tidak menyebutkan jika Plt Gubernur berasal dari petinggi Polri. Oleh karena itu, jika ini terus digulirkan dan sedikit dipaksanakan maka mantan Sekretaris Jenderal (Sekjend) PDIP tersebut bisa ditakatakan menjilat air ludahnya sendiri.
Selain itu, aturan lain yang dilabrak oleh Tjahjo adalah Undang Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Nomor 10 Tahun 2016, terutama dalam pasal 201 ayat 10 "Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".
Dalam Undang Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri, terutama dalam pasal 28 ayat 1 "Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis" dan ayat 3 "Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian".