senja mulai datang,warna merah terlihat di langit sebelah barat. terlihat burung-burung musiaman mulai migrasi, pertanda kemarau segera tiba. bintang gemintang akan adu cantik untuk menarik perhatian sang bulan, riuh jangkrik dan binatang malam laksana orkestra yang sahdu. kerlip lampu minyak mulai terlihat di beberapa rumah di kampung seberang, sayup adzan magrib terdengar seperti mengintimidasiku dari corong toa musola kampung, memandang senja di atas jembatan yang di apit pohon bambu dan hamparan sawah hijau yang luas memang seperti candu. saat itu belum aku mengenal cita-cita,  obsesi, konsistensi ataupun  bekerja keras dan banyak hal yang harus di kuasai agar menjadi laki-laki yang hebat. yang aku tahu saat pulang sekolah, lepas celana dan baju merah putih. ambil layang-layang dan berlari kesawah di sebelah kampung. soal makan, itu nanti saat ibu mencariku dengan sapu di tangannya. belari-lari kesana kemari asik dengan layang-layang, menerjang sawah yang baru di tanam lalu berakhir mandi di bawah siraman air pompa diesel di sungai kecil tengah sawah.
senja merah masih terlihat meski gelap sudah menutupi, tak kubiarkan senja berlalu tanpaku. aku setia menemaninya untuk tidur lelap dan istirahat. dia senjaku yang tak bosan menemaniku, memberiku tanda agar bersiap-siap menyambut malam, karena malam menyimpan banyak misteri, butuh cahaya agar tidak tersesat, butuh sarung agar tidak kedinginan, butuh doa agar tidak mimpi buruk, suara burung hantu mulai terdengar, entah bagaimana awalnya hingga di panggil burung hantu meski wajahnya terlihat lebih imut dari burung garuda yang menempel di dinding sekolahku. bapak terlihat asik menikmati  saluran radio kebanggaannya RRI, yang isinya hanya soal lomba klompen capir, kemajuaan pembangunan yang di komandani presiden suharto, sedangkan saat malam mulai larut , siaran langsung wayang kulit semalam suntuk adalah wajib a'in. laki-laki setengahbaya dengan guratan wajah keras namun penyayang, itulah lelaki yang pertama kali aku panggil bapak. sepeda ontel yang selalu menemaninya saat menjajakan wayang hasil kerja keras, ketelitiaan dan konsitensi terhadap seni., proses karya seni selama seminggu hingga sebulan kadang tak sebanding hasil yang di dapat, kota solo yang notabene punya sejaraha panjang soal budaya jawa khususnya pewayangaan,belum menjamin akan mengapresiasi sebuah karya seni. laki-laki ini memang tidak memberiku kemewahan, kelembutan atau rekreasi keluarga yang gembira namun sikap sedikit bicara dan kepeduliaannya  cukup jelas itulah cara dia menyayangiku. sekarang aku tahu apa arti ayah,bukan hanya dia yang menanam benih dan darahnya mengalir pada tubuh kita tetapi ayah adalah dialah yang memberikan cintanya dengan tulus tanpa pamrih meski bukan darah dagingnya sendiri. laki-laki tua itu tak pernah kalah dengan dunia, dia hanya kalah dengan nasib, kalah dengan dirinya sendiri. jika malam ini beliau masih hidup semoga  terdengar ucapan terimakasihku yang tak terhingga atas apa yang beliau berikan padaku, jika beliau masih sehat semoga rinduku merasuk dalam hatinya. itulah senja di bulan april, senja yang tua, senja yang kalah dengan gelap, senja yang angkuh karena tidak berdaya , senja yang merengkuhku dan bilang " jangan takut gelap,anakku", senja yang menggelitikku dengan janggut putihnya,  senja yang memboncengku dengan sepeda ontel dengan gulali di tangan kananku, senja yang menjalani nasib sebaik-baiknya, senja yang menorehkan goresan sendu, sekali lagi aku tatap senja itu sebelum pergi dan saat ini aku rindu senja di bulan april........
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H