Mohon tunggu...
Fitriani Abdurrazaq
Fitriani Abdurrazaq Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris di Universitas Negeri Jakarta. Pelajar dan penulis pemula yang tertarik pada bidang agama, budaya, filsafat, dan pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sorot Mata Ibuku

19 November 2011   16:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:27 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sudah beberapa hari ini aku doyan bercermin. Bukan dandan apalagi mau narsis. Aku sekedar memperhatikan sorot mataku, hendak membandingkannya dengan punya ibuku. Agak berbeda kurasa. Sorot mata lelah yang menggelayut lunglai di tiap sudut inderaku beberapa hari terakhir itu terlihat begitu payah. Seperti memangku beban seberat bumi saja kelihatannya. Seolah mengeluh. 
Kalau kubayangkan, sorot mata lelah ibuku tidak selemah ini. Aku masih bisa merasakan teduh dan tegasnya, meski ia tidak pernah berbicara.
Tapi, satu hal yang membuatku heran, sorot mata beliau lebih pandai berkilah. Aku pernah mendekati dan hendak bertanya: "ada apa, ibu?", sambil mengintrogasi bisu sorot mata itu. Namun ia langsung 'mencerah'. Cerah yang tidak kuasa menutupi lelah. Cerah yang mendorong beliau berkata: "ah, ibu tidak apa-apa, nak..."
Sesaat setelah itu aku camkan dalam diri, menjadi wanita itu tidak mudah, apalagi yang telah bertitel mulia 'Ibu'. Banyak hal pahit yang harus dikunyah dan ditelan sendiri. Seperti makan pare saja. Orang boleh tahu pahitnya bagaimana. Tapi kalau bisa, jangan biarkan mereka ikut menelannya. "Inilah tanggungjawab", hipotesisku.

Ngomong-ngomong tentang pare, aku jadi ingat perkataan beliau, di suatu siang yang beranjak sore. Siang yang tenang. "Ibu malah tidak suka kalau pare itu dihilangkan pahitnya lho. Ndak enak. Ndak nendang." Aku buru-buru menimpali, "iya, Bu'. Bener itu...aku juga. Hehe" setelahnya kulihat beliau tersenyum. Sorot mata itu cerah. Bukan lagi cerah yang berkilah. Ini alami. Dalam hati aku yakin beliau bermaksud berkata: Nak, hidup tanpa tantangan, tak enak... Semoga pahit yang kau temui dalam hidupmu, kecil atau besar, menjadi tantangan yang Allah mudahkan bagimu.

Dan. . . Semoga mulai saat ini, jika aku lemah, aku miliki sorot mata seperti sorot mata itu, milik ibuku. Sorot mata yang letih namun teduh dan 'pandai berkilah' hingga ia seolah cerah sampai akhirnya benar-benar cerah. Amiin. . .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun