Ia lahir dalam keadaan lemah, kulit merah, mata tertutup, ukuran tubuh kecil dan tak berdaya. Ia tak tahan sinar lampu, bahkan peka pada angin sepoi-sepoi. Lambat laun ia meremaja lalu mendewasa dan gagah, lantas berjubel gelar pun berjejer di depan belakang namanya. Sayang seribu sayang, ia pun merasa hebat dan lupa hakikatnya, lupa Penciptanya. Dunia pun nyaris mewahid di hatinya. Ia malu-malu jika harus membahas mengenai agama, mungkin tak level rasanya. Ia hafal seluk beluk dunia, bersemangat dengannya namun lupa perintah dan petunjuk Rabbnya. Kadangpun diingat, tapi sekedar ingat tanpa bukti nyata, sebab ia 'patuh' dengan retorikanya. Malangnya, ia acuh pada tempat kembalinya. Diingatkan pun hatinya memberengut tidak terima, "jangan sok suci" katanya.
Sungguh, banyak yang begini, terlupa hingga terlena. Semoga bukan kita. Semoga.
Takkah ia ingat... ketidakberdayaannya saat lahir, akan terulang. Kelemahan otot-ototnya, akan kembali. Ia akan menjadi ringkih, menua, Â dan...mati. Tapi yang muda dan tangguh jangan lupa pula, banyak yang terpanggil saat ia sangka belum waktunya.
Takkah ia ingat akan panggilanNya?, yang kalau sudah datang tak boleh diwakilkan. Mau tidak mau pasti dipaksa. Ia diberi pakaian berwarna putih dari kain termurah. Ia akan diberangkatkan dan tidak akan kembali lagi. Ia tergotong dalam keranda yang rodanya manusia, tujuannya sebuah liang, lalu dibaringkan di dalamnya. Tidurnya tak bertikar pun tak berbantal. Tiada pintu apalagi tiada teman. Ia pun pamit dari zaman. Zaman yang lambat laun membawanya ke hari penimbangan amal. Namun sebelumnya, entah bagaimana ia lalui hari-hari bersama Munkar dan Nakir.
Namun beruntunglah bagi yang beriman dan bertakwa. Menjalankan perintahNya dengan iman dan ilmu. Bukan ogah-ogahan bukan pula serampangan. Ia hidup sabar dan taqwa dalam menjalankan perintahNya menjauhi laranganNya, maka ia peroleh tenang ketika pulang. Kelak disambut dengan riang oleh malaikat atau mungkin bidadari yang menawan, dan tentunya berita agung akan pertemuannya dengan Rabbnya, serta nikmat-nikmat lain yang berkepanjangan.
Apalah arti kesulitan di dunia yang hitungannya hanya puluhan tahun dibanding upah akan syurga yang abadi?
Nasihat ini sebagai pengantar tidur kita saudara/iku. Tentunya, lebih-lebih untuk diriku  yang sok tahu namun paling butuh nasihat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H