[caption id="attachment_317610" align="aligncenter" width="646" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Seorang sahabat baru saja 'menegur' diri saya yang kedapatan Riya. Menurutnya, tak sepantasnya sebuah donasi yang dilakukan untuk sebuah kegiatan bakti sosial terkait dengan bencana alam yang sedang banyak terjadi di Indonesia ini di umbar ke publik. Melalui pemahaman agama yang dalam, sang sahabat pun menjelaskan bahwa tak pantas kita melakukan sebuah amal perbuatan, apalagi ibadah dengan diketahui oleh umum. Saat satu tangan memberi, maka yang satu tangan lagi sebaiknya tidak mengetahui.  Jangankan orang lain yang mengetahui, salah satu tangan saja sampai tidak boleh kan? Itu sebuah hitungan keikhlasan, tak mengandung harapan ataupun balasan apapun kecuali tabungan amal perbuatan. Meski menyambut baik teguran rekan yang mengajak kepada kebaikan tersebut, sejenak sempat bertanya kepada diri sendiri seakan mau protes. Tidak mengharapkan apapun kecuali keikhlasan namun tetap mengharapkan tabungan amal dan perbuatan? Masih manusiawi. Ucapan Lemah Teles atau Gusti Allah sing mbales sudah sangat menyejukkan hati dan amat teramat lebih dari cukup. Apalagi yang diinginkan? Dengan berat hati, lagi lagi saya harus kembali berbuat Riya. Dengan menjelaskan kepada publik kenapa saya berbuat Riya pun sejatinya sedang Riya. Tujuan saya dengan sengaja 'menyentil' atau bahkan memamerkan bahwa "Ini lho, saya sedang beramal " bukan tanpa sebab.  Melihat kondisi sosial media sekarang ini sebagai ajangnya "Riya" pun menjadi sarana yang juga dipergunakan.  Saat seseorang dengan ramahnya menawarkan sepiring nasi goreng komplit dengan telur ceplok nikmat di sebuah media sosial , apakah sebetulnya dia sedang berusaha ramah dan bersyukur atas nikmat nasi goreng yang (akan) dimakannya itu dan berusaha berbagi kesenangan, atau sekedarnya ingin mengatakan kepada dunia bahwa "eh, liat nih, hari ini saya makan nasi goreng nikmat di tempat yang lagi ngehits?" Lagi lagi, kembali pada niat seseorang tersebut dan cara menerima orang yang berbeda beda. Bisa jadi riya, pamer, atau bisa jadi juga orang tersebut tidak sedang bermaksud seperti itu. Mungkin sebagian dari pembaca akan menyimpulkan pada saat ini, oh, Baskoro sedang mencari sebuah pembenaran atas sikap Riya yang telah dilakukan sebelumnya.  Sehingga mengambil contoh tentang 'fenomena' upload foto makanan' pun sebagai satu sudut pembenaran : mengambil dari sisi bahwa memang si pelaku upload tersebut sekedar ingin berbagi kesenangan, keramah tamahannya terhadap mereka yang dianggapnya sebagai teman. Bukan hanya sekedar ingin pamer saja. Bisa jadi seperti itu, namun harus lagi lagi dengan berat berkata bahwa tidak, apa yang telah saya lakukan sebelumnya bahkan mendekati sisi baik sang pelaku upload  foto makanan. Tidak sama sekali. Melihat sebuah ajakan untuk berbuat baik, peduli terhadap sesama dengan mengulurkan tangan terhadap bencana yang terjadi sepertinya sedikit susah akhir akhir ini. Sepertinya kita, orang Indonesia sudah immun atau kebal akan sebuah berita musibah. Entah memang sudah terbiasa susah sendiri, sehingga untuk menolong orang lain pun sulit, atau kenyataannya sikap acuh yang sudah terbangun sedemikian tebal. Memalingkan muka, terhadap sebuah bencana seperti amat mudah dilakukan.  Lebih suka berbantah bantahan lama dengan teori atau saling menyalahkan atas bencana alam yang terjadi akhir akhir ini.  Bahkan semakin aneh saat ada "Berita Tenda 15 Milyar" tiba tiba kembali menguak saat Presiden SBY melakukan kunjungan ke tempat bencana. Sedikit yang mengetahui, bahwa berita itu usang. Ini 2014, berita tersebut muncul pada 2012. Namun nampaknya kegemaran kita untuk sekedar menghujat lebih penting daripada hal yang lain. Empati cukup dengan mengucapkan kata kasihan. Yang dua menit kedepan pun sudah hilang dengan gelakan tawa saat melihat kartun meme tentang Ibu Ani Yudhoyono. Keinginan untuk membantu korban bencana? Nol persen. Larut kembali kepada aktivitas keseharian, kesibukan dan 'riya riya' lainnya di sosial media.  Memalingkan muka memang lebih mudah untuk kembali ke  kehidupan. Hidup dibikin senang, jangan dibikin susah. Sing penting hepi. Itu tidak salah sebetulnya. Tapi saat kepedulian seseorang sudah mati saat melihat sebuah bencana , memalingkan mukanya,  maka sejatinya jiwa pun sudah kosong dan mati. Yang penting bukan aku, saudaraku, atau daerahku. Cukup keprihatinan ini kutuang dalam broadcast bolak balik atau mengomentari. Disitu, kepedulian sudah ditunjukkan. Disitulah, sikap riya yang salah pun kemudian ditunjukkan oleh penulis. Keputusan untuk riya pun diambil. Masa bodoh dengan aturan tangan memberi yang satu kudu ngumpet dan lainnya.  Apabila riya yang saya lakukan dapat menginspirasi orang lain untuk berbuat kebaikan, yang tentu lebih ikhlas dari saya, itu sudah cukup. Apabila bisa menampar gengsi beberapa orang untuk memberikan bantuannya terhadap mereka yang membutuhkan? Itu lebih dari cukup. Apabila nantinya teguran yang diterima, dan baik yang menegur maupun menghujat melakukan sesuatu yang berpuluh puluh kali lipat mengandung nilai kebaikan dan dapat membantu sesama? Itu lebih dan lebih dari cukup. Karena kata 'saya' yang telah berulang kali diucapkan ( atau diketik) didalam artikel ini, maupun kata dia, anda , kita atau yang lain tak lebih penting artinya daripada sebuah tindakan nyata untuk membantu mereka yang sedang benar benar membutuhkan uluran tangan terkait dengan bencana alam yang sedang melanda Indonesia pada saat ini. Besar atau kecil di ukuran (lagi lagi) kita, itu bukanlah suatu takaran penting. Diri merasa menjadi lebih baik atau orang baik pun tidak lah penting. Yang penting saat ini adalah mereka. Mereka, yang sedang membutuhkan bantuan kita. Itu yang terpenting. Entah bantuan yang riya', ataupun bantuan yang benar benar tulus datang dari hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H