Hong Kong lagi Hong Kong lagi.
Mengikuti perkembangan berita mengenai pelayanan Konsulat Jendral Republik Indonesia yang bisa dibilang seringkali tak berpihak pada Buruh Migran Indonesia harus mengatakan bahwa pendapat saya secara pribadi sudah keruh secara subyektif saat kemudian membaca artikel dari rekan Kompasianer,Fera Nuraini yang menuliskan lewat laman pribadinya, feranuraini.com mengenai kisruh yang terjadi di Tempat Pemungutan Suara berlokasi di Victoria Park, Hong Kong pada Minggu, 6 Juli 2014 yang baru saja lalu.
Dikabarkan bahwa ratusan calon pemilih pun gagal memberikan suaranya karena keterbatasaan TPS, petugas dan waktu. Otoritas setempat Hong Kong memberikan batas waktu sampai dengan pukul 17:00 waktu setempat sebagai batas akhir kesempatan untuk memberikan suara. Walhasil, banyak dari para BMI yang sudah antri pun tak dapat memberikan suaranya dan terjadi aksi ricuh dan protes yang kemudian 'memaksa' para BMI yang belum melakukan pencoblosan untuk mendorong masuk dan meminta pertanggung jawaban pihak Banwaslu, KJRI dan PPLN.
Dan walaupun negosiasi juga sudah dilakukan oleh para BMI, keputusan akhir tetap final. Batas waktu yang diberikan tidak memberikan kesempatan bagi para BMI untuk memberikan suaranya. Â Satu poin yang bisa dianggap penting adalah saat beredar kabar bahwa salah satu petugas Banwaslu menawarkan untuk bisa masuk dan memberikan suaranya "asal pilih nomer satu ".
Konon dan kabarnya, oknum petugas Banwaslu yang memberikan pernyataan yang seolah olah memberikan penekanan atas nama pasangan Prabowo -Hatta ini telah didapatkan identitas resminya dan dilaporkan ke pihak panitia pemilu. Sayangnya nama petugas tersebut tidak dicantumkan dalam tulisan Fera sendiri.
Ada beberapa hal yang menjadi catatan kericuhan pemilihan ini sendiri, saat bersandar pada tulisan Fera.
Yang pertama adalah meningkatnya minat para BMI untuk memberikan suaranya. Animo pemilih yang membludak menjadi faktor utamanya. Pendataan yang dilakukan oleh pihak KJRI pun tidak berlangsung dengan baik. Disini ada dua faktor yang bisa menjadi penyebabnya.
Faktor pertama tentu kinerja dari pihak KJRI Hong Kong , Panitia Pemilihan dan Bawaslu. Hasil kerja yang kurang maksimal dalam persiapan sehingga banyaknya para pemilih yang telah diundang  dan terdaftar secara resmi tidak sebanding dengan mereka yang datang tidak terdaftar dengan hanya berbekal KTP Hong Kong saja.  Pihak Panitia Pemilihan dan pihak KJRI berujar bahwa sebetulnya mereka telah berupaya untuk melakukan pendataan secara resmi sebelum pemilihan, namun banyak dari surat undangan yang dikembalikan kepada pihak KJRI karena nama yang bersangkutan sudah tidak berada di alamat yang terdaftar.
Ini pun satu sebab. Kembali bersandar pada tulisan Fera bahwa banyaknya antrian juga disebabkan oleh banyaknya mereka yang ingin menyumbangkan suaranya dengan berbekal KTP saja pun menjadi satu acuan ketidak tertiban administrasi. Tak serta merta kesalahan pada pihak KJRI, namun juga para BMI yang bisa jadi tidak selalu melakukan pemberitahuan ulang saat pindah alamat pekerjaan atau bahkan tidak melapor sama sekali?
Ketertiban administrasi menjadi sebab utama.  Baik para BMI yang tidak tertib administrasi dan juga pihak KJRI pun menimbulkan tanda tanya. Saat banyak dari BMI yang tidak terdaftar, mungkin ada penyebabnya. Kemalasan berurusan dengan birokrasi  itu satu. Namun secara subyektif kinerja KJRI Hong Kong yang memang seringkali bermasalah pun dapat menjadi pemicunya.
Faktor yang lain adalah ketidak sigapan petugas lapangan dalam pencocokan data. Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pencocokan data masing masing calon pemilih dan kurangnya petugas menjadi satu catatan penting mengapa antrian pun menjadi sangat panjang.