Sebelum memulai membaca, mengerti dan bahkan berdiskusi, ada baiknya kita sama sama mengenali arti kata rasialisme dan fanatisme terlebih dahulu menurut kamus besar bahasa Indonesia.Â
rasialisme/ra-si-a-lisme/ n 1 prasangka berdasarkan keturunan bangsa, perlakuan yang berat sebelah terhadap (suku) bangsa yang berbeda-beda. Arti yang kedua mengatakan bahwa ras diri sendiri adalah ras yang paling unggul.
Rasialisme sering juga di kaitkan dengan fanatisme, saat berhubungan dengan satu keyakinan, kepercayaan yang berlebihan. Saat seseorang mengatakan bahwa ia adalah bagian dari satu kaum berkeyakinan yang terbaik. Sebetulnya, tak jadi soal untuk merasa bahwa keyakinan yang dipilih adalah yang terbaik bagi dirinya. Wajib malahan sebetulnya, karena mengatakan satu agama atau keyakinan sama baiknya adalah satu pendapat yang bias dan tak punya pendapat yang tegas. Saat anda memilih sesuatu yang terdekat di dalam hati, ya secara otomatis anda akan mengatakan bahwa ini yang terbaik bagi diriku.
Bukan berarti, itu terbaik bagi orang lain tentunya. Ini yang harus dipahami, dan (sayangnya) masih banyak orang yang belum benar-benar paham akan hal ini.Â
Rasialis menjadi lebih sulit untuk dijewantahkan. Seseorang tidak pernah memilih untuk terlahir sebagai satu suku atau dengan warna kulit yang berbeda. Mendiang Michael Jackson yang terlahir sebagai seorang Afrikan- Amerikan begitu terobsesi dengan menjadi seorang kaukasian. Tidak menyukai bentuk hidungnya, tidak menyukai warna kulitnya.
Ia melakukan berbagai cara untuk mengoperasi wajah, dan bahkan melakukan pigmentasi terhadap kulitnya. Tak seperti lagunya yang populer Black or White , seorang Michael Jackson memilih untuk jatuh pada label yang dijatuhkan oleh orang orang yang berpikiran picik. Di Negara yang konon Land of The Free dan setiap warganya dilindungi oleh amandemen ke 4 , isu rasialisme sampai dengan hari ini masih menjadi satu topik dan perbincangan yang absurd.
Perlakuan tidak baik bagi warga berkulit hitam. Para (mereka) yang konon imigran. Berdarah hispanik, dan yang lainnya. Secara tak sadar, mereka tak mampu untuk mengenali bahwa mereka pun sebetulnya bangsa pendatang, sementara warga asli tanah yang diberi nama Amerika ini adalah para natif Indian, yang bahkan penamaan Indian ini akibat bodohnya para penemu benua ini yang tak sanggup mengenali mereka para suku penduduk asli sana. Pemilihan Presiden 2016 pun menjadi sangat krusial, karena sosok seorang Donald Trump yang bahkan sebelum menyalonkan diri gemar melontarkan isu isu rasialisme dan bahkan seorang yang seksis.
Pemilihannya melawan Hillary Clinton pun menjadi perhatian seluruh dunia, karena menjadi seorang Presiden Amerika Serikat bisa diartikan menjadi seorang sosok yang paling berpengaruh pada perkembangan dunia secara global. Baik Politik ataupun ekonomik. Di negara yang (tampak) maju ini, sebetulnya pemikiran dari mereka pun tidak terlalu maju. Masih banyak orang-orang bodoh yang berpikiran bahwa warna kulit atau keyakinan seseorang menjadikan mereka inferior terhadap yang lain.
Orang Indonesia. Sayangnya, kitapun yang berdarah Nusantara ini sekarang harus mengalami hal yang sama berulang-ulang lagi. Satu negara yang terdiri dari berbagai macam suku. Dengan bahasa dialek yang berbeda beda. DIsatukan dengan penggunaan Bahasa Indonesia, Bendera Merah  Putih, Pancasila dengan Bhinneka Tunggal Ika-nya. Jelas dan gamblang, para pendiri negara ini sudah serta merta memikirkan dengan era keterbatasan informasi yang saat itu mereka punya. Berbeda beda tetapi satu jua.
Semua menjadi kalah. Kalah akan kemampuan berpikir yang mandek dari sebagian orang yang masih saja gemar merasa inferior dengan mengatakan bahwa suku mereka adalah yang terbaik. Keyakinan mereka adalah yang paling benar, dan menggembor gemborkannya di sosial media. Tidak menyukai seseorang hanya karena dia terlahir bermata sipit dan berkulit kuning, atau bahkan berkulit hitam. Dangkal sedangkal-dangkalnya pemikiran seseorang apabila ia sudah memposisikan diri tidak menyukai seseorang berdasarkan hal hal tersebut dan bahkan merasa paling dekat dengan sebuah Dzat tertinggi yang terkenal dengan sebutan Dewa, dan sebagian mengenalnya dengan kata Tuhan.
Merasa tahu dengan sifatNya yang Maha, namun secara tak langsung mengkerdilkanNya karena tak mau mengakui ciptaanNya yang lain. Dan di era dimana demokrasi menjadi lebih gamblang dan mudah untuk dilakukan, anda, mereka, saya, gemar menyuarakannya baik secara lisan maupun di sosial media. Sikap inferioritas ditunjukkan. Para Keyboard warriors pun bermain. Satu yang harus dikatakan secara gamblang.