Lumayan makjleb sih waktu Pakdhe Jokowi mengumumkan pencalonan Kyai Haji Ma'ruf Amin sebagai Calon Wakil Presiden yang didaulat untuk periode pencalonan 2019-2024 nanti.
Jago saya bukan Mahfud MD sih . Karena kalo mau nurutin keinginan sih pengennya sebetulnya Moeldoko, dengan harapan kemajuan pada sisi agraris. Perikanan sedang naik daun, infrastruktur sedang dibangun. Hankam lagi cakep cakepnya, PT. Inka lagi cantik juga Apa gunanya kalau lantas semua itu hanya sekedar kenyamanan transportasi tapi tidak bisa membawa pemberdayaan daerah dan hasilnya secara lebih maksimal? Tapi memang lebih tepat Mahfud MD, jadi ya tetep manut lah.Â
 Dan juga lebih jauh lagi, secara pribadi gak pengen memilih seseorang karena latar belakang agama atau keyakinan.  Asli jeleh mengambil jalan yang ini.
Saya merasa bahwa kita, Bangsa Indonesia justru perlu belajar lebih jauh. Tidak membawa embel embel agama dalam sesuatu hal, melainkan bisa melihat hal baik dari 'sekedar dan diluar' Â wadah agamis. Â Tidak melihat sebuah simbol yang sakral saja tanpa mau belajar lebih dalam, tapi lebih pada penerapan dan ketaatan yang baik. Pelecehan terhadap agama atau keyakinankah? Mungkin dan bisa jadi. Tapi kalaupun hati ini semakin muak melihat dimana adab yang baik tak dipertontonkan dan kebesaran Tuhan dipaksa berkolusi dengan hal remeh yang notabene atas dasar perebutan kekuasaan, maka mau dibilang apapun juga tak jadi masalah.Â
Luweh, wong podo menungsone ae kok.
Yang  melulu menjadi bidikan atas tensi yang terus menerus dibangun ini, bukan kebetulan adalah satu keyakinan yang dianut, dan juga  menjadi mayoritas di negeri tercinta ini.  Dan saat Pakdhe Jokowi justru mengambil langkah ini, meski sempet gigit jari, ya kudu mengakui bahwa ada pelajaran penting disana.  Pelajaran yang bisa diambil justru bukan dari anekdot yang banyak beredar sekarang ini :
 "Bahwa ga memilih Calon yang didukung Ulama lantas jadi autokapir atau Jokowi beli label halal sekalian sama pembuatnya " Â
Toh di lapak sebelah pun masih saja berkutat di isyu yang sama, meski sejatinya mereka tak mau atau mampu mengakui bahwa sudah secara pelan dan senyap ditelikung ke ulamaan nya.
Pelajaran yang didapat disini justru sebaliknya. Mau di dukung oleh Ulama sekalipun, Jokowi tetap Jokowi dan lapak sebelah akan terus membenci. Â Bahkan sekarang sedang dibangun issue jelek untuk menenggelamkan dukungan mayoritas terhadap Sang Ulama.
Jelas kan sekarang, bahwa agama memang sekedar kendaraan saja?  Jadi tepis jauh jauh lini romantis yang lagi viral,  bahwa Prabowo menghindari pembenturan dari ulama dengan ulama lah atau justifikasi justifikasi lainnya. Dan juga, bagi pendukung Jokowi, tepis sudah justifikasi atau pembelaan diri tentang kenapa dipilih seorang Kyai Sepuh sebagai  Cawapres kali ini. Mau meredam isu lah apalah. Monggo aja sih kalau mau percaya.
Bahkan seorang Pepo pun wajib sanggup meredam kekecewaan Memo akibat putra yang digadang gadangnya ternyata  harus kandas dan "menerima" tawaran seorang Prabowo? Hmmm, sejak kapan seorang SBY manut dengan Prabowo? Anda harus bisa melihat sebuah  benang merah disini, adanya pihak yang mampu meredam ini.Â
Semua gamblang terjawab dan harus diakui sangat cantik permainannya.Â
Selama ini, perseteruan masih saja terfokus pada Blok Soekarno dan Blok Soeharto. Sebuah rivalitas lama. Siapa yang sanggup kembali mengadu muslim dengan issue PKI selama ini? Siapa yang juga mampu menggerakkan seorang Rizieq Shihab dan pasukannya, membuat seorang Anies Baswedan yang dulu saya kagumi seperti tak sanggup melakukan apa apa?Â
Dan kemudian sembari jalan  membangkrutkan seorang Prabowo dengan terus menerus mengkompori ego nya  dan pada akhirnya mengunggulkan seorang Uno ? Ini semua adalah proses. Dan yang paling nyata dan gampang terlihat ya seorang Memo tiba tiba manut itu apa lagi kalau bukan kesana?
" Bro, kamu salah. Buktinya mereka hanya berpartai tapi tidak mencalonkan diri sendiri "
 Dengan pengalaman mereka yang cadas dan waktu yang cukup, mereka strategis melakukan hal hal itu dibawah hidung kita. Dari mulai infiltrasi, foreplay dan perjalanannya, terlalu cepat lah kalau harus mengakhiri disini. Toh kita masih belum lepas dari generasi Orde Baru kan? Butuh satu generasi lagi yang lambat laun dapat membalikkan sejarah.Â
Mengubur luka luka lama. Lantas kemudian bangkit dengan sedikit bersih saja sudah cukup. Toh mereka juga sejatinya banyak berkontribusi atas kebaikan di Negara ini kok. Tak melulu negatif. Kuncinya cuman jangan terlalu malas membaca atau melulu selalu terbawa apa yang di sodorkan oleh media saja.Â
Karena kenyataanya, positif atau negatif berjalan bersama sama. Dan positif atau negatif, masih saja berbentuk opini di negeri ini. Bukan atas dasar fakta atau statistic. Masih dalam pembentukan opini. Â Disini, kita perlu dicerdaskan.Â
Lantas kemudian bagaimana dengan mereka yang mak jegagik ngambek atas pencalonan Sang Kyai kemudian memilih golput?  Ya secara pribadi sih sulit buat menilai ya, secara gamblang akan bilang ya mereka terlalu terjebak akan sebuah melankolis romantis akan sebuah perjuangan.
Terlalu telenovela menurut saya sih, dan pendendam.Â
Merasa membela seorang Ahok, tapi terlalu malas untuk bersikap seperti layaknya kesatria dan meneladani dirinya.  Gak bisa ngomong, karena disisi keimanan yang dianut kebetulan banyak juga model seperti ini : Demen ame ayat perangnye, tapi  ente malas meneladani para penerus Rasulullah SAW  yang halus, santun dan mempunyai adab yang baik.  Dan para pendombleng Khilafah jangan mimpi ya ngedukung lapak sebelah tapi nanti gak akan ditinggalkan juga. Antum pikir Prabowo bukan seorang yang Nasionalis? Mikir, Tum , mikir !Â
Jadi mau golput atau enggak juga gak masalah, karena itu sikap. Ada yang bisa militant , tapi ada juga yang punya karakter lebih cocok di dapur umum. Dan meski di dapur umum sekalipun, giliran dapet kerja sedikit berat atau tangan nya keiris trus ngambek?
Ada jugaa.
Jadi sampai disini apa yang akan dilakukan? Ya ikuti saja hati nurani. Hampir 5 tahun berlalu meski diganggu sana sini tetap bisa positif dalam pembangunan, mau ngeliat apa lagi? Dan mau golput ya sudah diperhitungkan kok. Hilang disini, eh dapet tambahan disana.Â
Minimal dengan Pakdhe Jokowi, saya tak perlu melihat seorang pemimpin yang meski nasionalis terus menerus menjual rasa ketakutan,perpecahan, menebalkan arti mayoritas-minoritas, Â pesimistis, ataupun diarak dengan iringan lagu Syantik !
Kalau lagunya Nasida Ria Kota Santri sih, boleh juga.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H