Insiden 40 jam
Tragedi Ekstensi Rutan Salemba di Markas Komando Brimob yang lalu meninggalkan duka yang mendalam, sekaligus geram.
Gugurnya 5 Personel Densus 88 akibat dari bentrokan dan penyanderaan yang dilakukan oleh Napi Terorisme yang totalnya berjumlah 155 orang menyisakan berbagai pertanyaan sekaligus pernyataan. Banyak pihak yang seolah tak percaya bagaimana para napiter (napi terorisme) dapat mengambil alih sebuah rutan yang terletak justru pada Markas Komando Satuan Brimob Polri. Kronologis lengkap dapat di lihat di tautan ini.
Untuk bisa memahami lebih dalam mengapa insiden tersebut bisa terjadi, ada beberapa hal yang mungkin bisa membantu menjawab beragam teori 'liar' yang dilemparkan oleh Warganet di Media Sosial
Di dalam satu tatanan Rutan atau Lapas, tahanan baik titipan dari kejaksaan maupun terpidana kasus spesifik seperti Terorisme, Narkotika dan Tindak Pidana Korupsi biasanya memang ditempatkan di satu (atau lebih) blok spesifik didalam rutan atau lapas yang terdiri dari beberapa sel untuk warga binaan.
Mereka tidak dicampurkan dengan para warga binaan lain  yang masuk kategori tindak pidana umum. Hal ini memang merupakan strategi pengamanan , pengawasan, pembinaan dan administratif.  Seperti halnya satu contoh di  Lapas Kedungpane, Semarang. Dimana Blok K atau Padepokan Kresna menjadi sel blok khusus bagi para Napiter dan oknum aparat yang sedang menjalani hukuman pidana.
Mengapa Napiter Begitu Mudah Menguasai Rutan?
Karakter Komunal: Kenali karakter mereka terlebih dahulu untuk paham. Dari sekedar terpidana yang hanya simpatisan atau aktivis kelompok kecil . Yang pada akhirnya tergabung menjadi satu 'kekuatan' besar didalam rutan atau lapas.
Sistematis dengan keteraturan pola , struktur hiraki, tanggung jawab dan tentu kedekatan ideologi, dan (sangat) tertutup. Meski tak terlihat berbaur dengan napi dari blok umum, strategi pengenalan medan dan massa tetap jalan lewat personel scout. Mengumpulkan informasi, membaca kondisi dan melaporkan pada sub kelompok menjadi hal yang biasa disini.Â