Sudah pernah ke Kota Semarang?
Kota Syah Bandar di Jawa Tengah dengan kontur menarik ibarat sebuah ‘benteng’ yang melihat lepas ke Laut Jawa ini memang nyaris tidak mengerti arti kata yang susah dan gakaseli Indonesia itu.
Toleransi? Makanan Apa Itu, Mas, Mbak ?
Dari kawasan pesisir pelabuhan. Pecinan, Kauman, Pekojan, Kranggan bahkan Semarang atas yang lekat dengan kontur perbukitannya. Kuliner, bahasa sehari hari dan etika bergaul khas Semarang, banyak memberikan sebuah gambaran akan peleburan berbagai etnis yang dahulunya merupakan pendatang menjadi Semarang.
Masjid Menara, Masjid Kauman, Klenteng Sio Hok Bio dan Tay Kak Sie. Gereja Blenduk dan Vihara di Watugong menjadi satu penanda penting akan keragaman keyakinan dan yang tak kalah pentingnya keterbukaan dan kehangatan penerimaan leluhur Jawa.
Sebuah ikon asimilasi etnis, kultural dan keyakinan dapat dirasakan di tempat yang semula Masjid dan kini menjadi Klenteng yang terkenal dengan sejarah armada Kekaisaran Tiongkok dengan Laksamana Cheng Ho dan Juru Mudi Dampo Awang. Klenteng Gedung Batu.
Arak-arakan sebentuk ilustrasi yang melambangkan Semarang. Dimulai pada masa sebelum Ramadhan. Kearifan leluhur akulturasi yang dibawa baik oleh pendatang dan juga masyarakat Jawa.
Kepala yang berbentuk Naga sebagai buah cinta pemikiran etnis pendatang Tionghoa, Unta, mewakili bagian tubuh adalah sumbangsih kerinduan akan budaya , asal dan keyakinan etnis Timur Tengah para pedagang dan mereka yang syiar pada saat itu.
Empat kaki yang kokoh namun sederhana. Pilar yang melambangkan penerimaan dan juga satu olah gerak untuk melangkah bersama-sama dengan Tiyang Jawi di Tanah Jawa yang sakral ini.
Sebuah akulturasi budaya dan keyakinan yang dalam. Sedikit teringat dengan perjuangan Ki Ageng Pandanaran, maupun Kanjeng Sunan Kalijaga yang salah satu petilasannya terdapat di tempat yang kini merupakan Kawasan Wisata. Waduk Jatibarang, Goa Kreo Semarang.
Gesekan Etnis Era 80’an. Kisah Rumah Gedongan dan Rasialisme
Bukannya gesekan tak pernan ada, sebagaimana saudara sekandung yang tentu pernah berselisih paham. Semarang di era awal 80’an pun mengalami gesekan etnis yang pada waktu itu hampir meluas. Gesekan antara apa yang diklaim pada saat itu sebagai pribumi dengan pendatang terjadi karena sempat terjadi ekslusivitas kecil di masing masig etnis grup, dan pada umumnya, masalah strata sosial.
Gesekan kelompok kecil yang hampir membesar. Yang pada akhirnya memberikan sedikit ingatan buruk dan juga ‘sekat’ yang tak kelihatan antar kelompok etnis sendiri. Penulis sempat menyaksikan dan bahkan mengalami masa itu.
Ketakutan .Saat melihat rumah gedongan ekslusif tetangga yang dilempari batu. Juga oleh tetangga sendiri, sayangnya.
Bullying rasial pun dirasakan. Terlahir dengan perawakan bak etnis yang konon dari seberang, memang sedikit bikin kewalahan. Harus melawan dan memberontak menjadi terbentuk karena bullying rasialis seumuran yang sepertinya pada masa itu lazim dilakukan. Bukan salah mereka, anak seumuran.Namun pemikiran yang ditanam oleh orang tua dan lingkungan masing masing lah yang menjadi penyebab dan sekat sekat itu sendiri.
Pola pikir dan sekat itu sendiri terbangun kebanyakan melalui cara diturunkan.
Sekat yang pada tahun 90’an kemudian berusaha didobrak oleh generasi dibawahnya. Membaur, antara satu dan yang lainnya. Tetaplah, ada kelompok yang berusaha mempertahankan roots hardcore masing masing. Meski semakin hari, menjadi semakin kecil dan semakin tidak terlihat. Era Kepresidenan Gus Dur semakin membawa angin segar untuk perubahan ini, terutama di Kota Semarang.
Keturunan Etnis Tionghoa, yang sedari awal juga menjadi bagian historis dari sejarah Kota Semarang pun semakin membuka diri, tanpa kekhawatiran dan prasangka. Etnis keturunan dan keyakinan lain yang semula sempat juga menutup diri pada akhirnya pun berusaha belajar akan perbedaan masing masing. Terbuka, dan membaur kembali.
Narkoba dan Pembauran .
Satu sisi lain dari sebuah Kota Pelabuhan seperti Semarang adalah sejarah akan Pakter Madat atau Lisensi Perdagangan Candu dari seorang yang lebih dikenal dengan julukan Raja Gula Semarang, Oei Tiong Ham. Berpusat di Semarang dengan daerah pengelolaan mulai dari Semarang, Surakarta, Yogyakarta dan Surabaya- Kediri, Oei Tiong Ham yang bisnis utamanya adalah perkebunan tebu dan perdagangan gula mampu meraih keuntungan dengan jumlah yang kurang lebih besarannya sama dengan nilai 92 Milyar Rupiah pada masa ini- setiap tahunnya.
Narkoba, tidak mengenal suku atau keyakinan.
Warga Kota Semarang kebanyakan pada masa itu pun terkena demam ini. Ironi dari sesuatu yang menghancurkan banyak keluarga dan bangsa ini malah menjadi satu sarana pembauran etnis. Anjloknya nilai tukar Rupiah pada saat itu justru menjadi satu keuntungan bagi Kota Semarang yang didukung oleh sentra industri furniture Jepara dan pelabuhan Kota Semarang.
Bergeraknya ekonomi, euphoria kebebasan reformasi dan lemahnya hukum yang ada pada saat itu menjadi faktor pendukung. Anda mau orang Jawa, peranakan Arab, Tionghoa, etnis dari para pendatang luar Jawa yang merantau di kota Semarang dan bahkan orang asing multi nasional dengan istri lokal mereka ( era booming furniture Jepara) pada masa itu menjadi membaur. Semua teman dalam kegembiraan era house music dantripping. Ekonomi yang membaik dan peredaran barang haram yang bikin semua menjadi teman dan saudara.
Sejarah kelam namun juga sisi pembauran yang harus jujur diakui memang bagian dari Kota Semarang.
Gesekan Di Indonesia. Bagaimana Dengan Semarang ?
Di berbagai penjuru Indonesia, berbagai gesekan antar etnis dan keyakinan seperti semakin mudah tersulut. Hal ini tentu menjadi perhatian warga Semarang yang memang ‘multi’ ini. Sedikit kecemasan bahwa peristiwa yang terjadi di berbagai belahan daerah di Indonesia itu akan menjadi pelatuk bagi kelompok kecil masing masing yang selama ini tak terlihat namun meradang.
Warga Semarang, mulai hati hati dan berjaga dengan kata toleransi. Media sosial pun dipergunakan sebagai wadah informasi dan juga kerukunan bersama saat pergeseran tradisi, seperti arak arakan Warak Ngendog sebelum Ramadhan menjadi seperti sepi peminat.Acara yang diprakarsai oleh Kanjeng Bupati RMTA Purbaningrat yang dimulai pada tahun 1881 sempat terlihat kehilangan makna dan bahkan sedikit yang tahu akan nilai historis dan filosofis dibalik perayaan itu sendiri.
Tantangan baru untuk mempertahankan pembauran yang sudah cukup lama harmonis ini menjadi tugas estafet kepada generasi seterusnya.
Pemerintah Kota Semarang menjadi serius untuk ‘menggarap’ nilai historis Kota Semarang. Kerukunan multi kultural yang menjadi ciri khas , dibangunkan kembali. Kawasan Kota Lama dipugar habis. Yang dulunya sempat menjadi satu area yang rawan akan tindak kejahatan, kini menjadi satu spot klangenan turism wajib yang juga mengangkat historis gerakan dan peleburan multi etnis tadi.
Edukasi, memang memegang satu peranan penting bagaimana masyarakat yang terdiri dari berbagai ras, golongan dan keyakinan dapat hidup bersama sama. Melihat anak anak kecil bermain bersama tanpa bullying rasial atau keyakinan, adalah satu buah pengharapan yang baik. Ini sebetulnya yang sejatinya seharusnya menjadi perhatian bersama yang lebih baik.
Pendidikan. Dan seperti rangkuman kisah baik maupun buruk , Kota Semarang sejatinya diuntungkan dengan berbagai tempaan mengenai toleransi dan peleburan multi etnis dan keyakinan, sangat logis untuk mengenalkannya sebagai bekal kuat pemahaman untuk generasi selanjutnya. Kearifan lokal disematkan didalam pembelajaran berbasis kurikulum yang mumetnya sering gonta ganti saat ini.
Yang antara masa bodoh lah atau wegah untuk urusan begituan. Yang merasa bahwa perbedaan itu justru sesuatu yang harus disikapi dengan menjaganya, bersama sama. Di Kota Semarang, apabila ada sebuah demonstrasi yang mengatas namakan satu kelompok atau golongan yang sifatnya ‘sedikit’ mengganggu keharmonisan yang sudah dijaga biasanya akan dapat sorakan atau tak jarang makian. Iki Semarang, dudu Jakarta !
Semarang, Kaline Banjir.
Banjir dan rob langganan Semarang yang jadi tagline ngenes “Semarang kaline banjir “ ini sejatinya bisa jadi sebuah pengingat akan sanad jelas Kota dan Warganya. Tak melupakan asal-usul, yang dibawa oleh arus air laut dengan tekad, doa dan pengorbanan untuk memberikan bentuk kehidupan yang menjadi semakin berwarna di Tanah Jawa.
Dengan segala makian atau bahkan doa-doa terbaik warga Kota Semarang akan banjir rob. Dalam musibah, dan juga senang.
Air yang mengalir dari berbagai tempat dan selalu menemukan caranya untuk pada akhirnya melebur dengan atau tanpa sekat.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H