Seruan seruan emosional  mampir riuh di beranda media sosial.
Mereka, semua, mengumpat dan menyatakan kekecewaan terhadap putusan akhir RUU Pilkada ,yang tentunya setelah diputuskan, maka secara otomatis ia tidak lagi sebagai Rancangan, melainkan Undang Undang yang berlaku. Pengkebirian suara rakyat oleh mereka yang konon merupakan wakil wakil dari rakyat bernama DPR.
Demorasi Sudah Mati ! Â Itu seruan yang kencang terdengar.
Hlo. Lha memangnya ada satu keyakinan bahwa demokrasi itu memang pernah hidup di Indonesia ini ? Apabila anda, saya, atau kita  termasuk salah satu dari yang berpikir seperti itu, maka sudah saatnya  harus dilakukan kalibrasi ulang tentang satu pemahaman arti demokrasi di benak kita masing masing.
Ilusi tentang kebebasan berpendapat, atau bahasa ngapaknya lebih dikenal dengan kata "freedom of speech" itu bukan demokrasi. Setidaknya, bukan di Indonesia. Mempersoalkan tentang hak suara yang dikebiri itu bukan satu tentang demokrasi. Selain dari hak, tentu ada kewajiban dalam berdemokrasi yang benar. Dan sayangnya, kita sibuk mempersoalkan hak tanpa mau tau tentang kewaiban tersebut.
Demokrasi, tidak akan pernah hidup tanpa kedua hal tersebut berjalan dengan semestinya. Antara mempergunakan hak, dan melaksanakan kewajibannya. Â Menghormati hak orang lain, adalah satu kewajiban dalam demokrasi. Bukan sekedar sumpah serapah tentang hak yang dikebiri. Apabila tidak cocok dengan apa yang terjadi, ya diupayakan kembali melalui satu wadah bernegara. Bukan sekedar menyuarakan namun pun tidak berbuat apa apa.
apakah anda average voter, atau diatas rata rata? Karena itu akan terlihat disaat berbicara tentang demokrasi yang ada dan pemahaman mengenai demokrasi. sumber: quotesandlife.com
Bukankah itu yang para penggiat demokrasi minta sedari awal?
Menyuarakan turun ke jalan dengan demonstrasi? Selama itu yang bisa dilakukan, itu adalah bagian dari demokrasi. Namun tidak dengan ajakan anarkis, merusak fasilitas umum yang dibiayai oleh uang rakyat dan bahkan mengotori jalan jalan dengan sampah sampah hanya karena dalih demokrasi bukanlah salah satunya.
Beberapa 'koboi' ( tanda kutip) eks 98 pun seperti kembali menyuarakan romantisme peran mereka di "sejarah demokrasi di Indonesia". Beberapa dari mereka yang saya pribadi kenal, kininya, tak jarang menjalankan teori perdagangan ala tahu sama tahu kalau tidak mau jadi tempe, saat mereka berbicara tentang proyek didalam pemerintahan yang berjalan.
Kalibrasi ulang. Romantisme apakah yang kita bicarakan disini? Saat metabolisme sudah mulai menurun dan urat pita suara eks demonstran lebih banyak untuk duduk berbisik melobi atau bahkan  bernyanyi sayu  lagu romantis terkini di bilangan room karaoke ternama dengan para pejabat, aparat dan lain hal demi sekedar urusan fulus dan plus plus, maka sudah pasti romantisme tentang sebuah perjuangan demokrasi anda, wajib saya pertanyakan.