Perkembangan perbankan di Indonesia tidak luput dari zaman penjajahan Hindia Belanda. Pada zaman itu di Batavia didirikanlah De javasche Bank NV pada Tahun 1828, dan  selanjutnya didirikan Nederlandsche Indische Escompto Maatschappij NV pada Tahun 1918, kemudian  lahirlah  beragam  bank-bank yang memiliki peranan penting di Hindia Belanda.   Bank-bank tersebut anatara lain: a). De Javasce NV; b). De Postspaarbank; c). Hulp en Spaar Bank; d). De Algemene Volkskrediet Bank; e). Nederlandsche Handelsmaatschappij (NHM); f). Nationale Handelsbank (NHB); g). De Escompto Bank NV; dan h). Nederlansch Indische Handelsbank.
Zaman setelah kemerdekaan seperti saat ini, perbankan di Indonesia bertambah maju  dan berkembang pesat. Terdapat begitu banyak jenis bank sehingga perlu pengaturan agar kegiatan bisnis perbankan dapat berjalan dengan baik. Secara yuridis, pengaturan perbankan di Indonesia dimulai sejak Indonesia merdeka. Regulasi perbankan yang secara sistematis telah dimulai pada Tahun 1967. Pada tahun tersebut telah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan yang secara komprehensif berlaku pada saat itu. Namun demikan, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 ini tidak mengatur mengenai bank Syariah.
Pada tahun 1992, sebagai upaya penyempurnaan tata system perbankan nasional, dikeluarkan undang-undang sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967. Undang-undang pengganti tersebut adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang  Perbankan. Secara yuridis, pengaturan perbankan syariah pada awalnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang ini pada prinsipnya mengakui eksistensi perbankan yang menerapkan system bagi hasil dalam penyelenggaraannya, ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 1 angka (12), Pasal 6 huruf (m), dan Pasal 13 huruf (c). Namun, undang-undang ini tidak menyebutkan secara pasti apa definisi dari perbankan yang beroperasi menggunakan sistem bagi hasil.
Pada tahun 1998, tepatnya pada Tanggal 10 November 1998 istilah perbankan yang menerapkan prinsip bagi hasil ini diatur melalui hadirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan (untuk selanjutnya disebut UU Perbankan). UU Perbankan ini memberikan penyempurnaan yang bersifat substansisal, salah satunya penegasan terhadap konsep perbankan syariah, yang sebelumnnya bank berdasarkan prinsip bagi hasil berubah menjadi bank yang menerapkan   prinsip syariah. Adanya dasar hukum dalam tatanan hukum positif di Indonesia terhadap  penyelenggaraan bank yang menerapkan prinsip syariah ini memberikan perubahan serta memberikan peluang untuk tumbuh dan berkembangnya bank syariah di Indonesia.
UU Perbankan secara tegas menggunakan kata bank syariah dan mengatur secara jelas bahwa bank, baik bank umum dan BPR, dapat beroperasi dan melakukan pembiayaan berdasarkan pada prinsip syariah. Kemudian yang dimaksud dengan prinsip syariah, menurut Pasal 1 butir 13, adalah aturan perjanjian berdasarkan hokum Islam antara bank dan pihak lain  untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip pernyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan  kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina). Ketentuan di atas menunjukkan perluasanan eksistensi bank syariah dalam melaksanakan kegiatannya, di mana dalam UU sebelumnya hal tersebut tidak diatur secara jelas.
Selanjutnya, UU Perbankan Tahun 1998 tersebut memperbolehkan bank konvensional untuk menjalankan aktifitasnya berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia. Dalam hal ini, bank konvensional yang hendak menjalankan kegiatan syariah harus mendirikan kantor cabang atau sub kantor cabang. Adapun untuk BPR tetap tidak dibolehkan untuk menjalankan aktifitas secara konvensional dan syariah secara bersamaan. Perbedaan lainnya adalah diberikannya wewenang kepada Bank Indonesia untuk mengawasi dan mengeluarkan peraturan mengenai bank Syariah.
Atas dasar UU Perbankan, dasar hukum perbankan syariah di Indonesia semakin kuat  dan jumlah bank syariah semakin meningkat secara signifikan. Namun, beberapa praktisi dan pakar perbankan syariah berpendapat bahwa peraturan yang ada masih tidak cukup untuk mendukung operasional perbankan syariah di Indonesia. Contohnya, bank syariah beroperasi hanya berdasarkan pada fatwa Dewan Syariah Nasional yang kemudian diadopsi Bank Indonesia dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia yang tersebar dalam berbagai bentuk kadangkala overlapping satu sama lainnya. Kemudian, bank syariah   mempunyai karakterisitk yang berbeda dengan bank konvensional, sehingga pengaturan bank syariah dan bank konvensional dalam satu Undang-Undang yang sama dipandang tidak mencukupi. Oleh karena itu, adanya UU khusus yang mengatur bisnis perbankan syariah secara   konfrehensif merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak untuk diwujudkan.
Hadirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU  Perbankan Syariah), adalah dasar legalitas pengoperasionalisasian perbankan syariah. Aspek baru yang diatur dalam UU ini adalah terkait dengan tata kelola (corporate governance), prinsip kehati-hatian (prudential principles),menajemen resiko (risk menagement), penyelesaian sengketa, otoritas fatwa dan komite perbankan syariah serta pembinaan dan pengawasan perbankan syariah. Bank Indonesia tetap mempunyai peran dalam mengawasi dan mengatur   perbankan syariah di Indonesia, namun saat ini pengaturan dan pengawasan perbankan, termasuk perbankan syariah dibawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Kesimpulan
Reformasi kebijakan pemerintah untuk mengembangkan perbankan Islam di Indonesia sampai sekarang tidak terlepas dari faktor ekonomi dan faktor politik yang terjadi ketika kebijakan itu dikeluarkan. Penerapan hukum perbankan Islam dalam sistem hukum nasional Indonesia sedang mengalami evolusi bertahap. Pada tahap awal, aturan perbankan syariah dalam UU Nomor 7 tahun 1992 masih dijaga seminimal mungkin dengan memungkinkan bagi bank bagi hasil. Pada titik ini, regulasi perbankan syariah merupakan respon terhadap praktik bank syariah, yang masih beroperasi sebagai bank dengan prinsip bagi hasil. Pada langkah berikutnya, aturan perbankan syariah diatur oleh bank berbasis syariah dari UU Nomor 10 tahun 1998. Kedua aturan ini mengatur bank syariah dengan aturan yang sama yang berlaku untuk bank konvensional. Akhirnya, UU Nomor 21 tahun 2008 disahkan, yang mengatur perbankan Islam secara terpisah dari bank tradisional. Ini dramatis pada titik kebijakan hukum  nasional setelah regulasi perbankan Islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H