Dalam buku, aku baca beberapa kata cinta.
Tiap bagiannya tersusun rapi oleh kata dan data.
Ku nikmati kopi, agar lelap tak menutup mata.
Engkau diam, bukan karena tak ada lagi kata.
Aku diam, bukan karena tak lagi ada kata.
Cerita tertunda menghentikan sejenak kita.
Lantas mengapa? Tanyaku, dengan terbata-bata.
Kita berimajinasi seakan jadi realita.
Aku diam, bukan karena tak lagi ada kata.
Ku nikmati kopi, agar lelap tak menutup mata.
Kita berimajinasi seakan jadi realita.
Tiap bagiannya tersusun rapi oleh kata dan data.
Lantas mengapa? Tanyaku, dengan terbata-bata.
Engkau diam, bukan karena tak ada lagi kata.
Dalam buku, aku baca beberapa kata cinta.
Cerita tertunda menghentikan sejenak kita.
Kita berimajinasi seakan jadi realita.
Engkau diam, bukan karena tak ada lagi kata.
Lantas mengapa? Tanyaku, dengan terbata-bata.
Cerita tertunda menghentikan sejenak kita.
Tiap bagiannya tersusun rapi oleh kata dan data.
Ku nikmati kopi, agar lelap tak menutup mata.
Aku diam, bukan karena tak lagi ada kata.
Dalam buku, aku baca beberapa kata cinta.
Tapi ini bukan tentang kopi yang pernah hangat lalu kau diamkan tanpa terasa.
Namun, tentang kata dalam kita yang kehabisan kata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H